Davina bersandar santai di tumpukan bantal yang ia tumpuk di kepala ranjang, sementara tayangan pada televisi di hadapannya menayangkan adegan erotis kedua tokoh. Devon muncul sesaat kemudian dengan jubah mandinya dan menatap ke arah Davina dan televisi bergantian. Dahinya berkerut penasaran.
Davina berpura-pura tidak peduli dan tetap fokus pada televisi ketika Devon yang ia kira akan melangkah ke walk in closet untuk berganti baju malah ikut duduk di ranjang dan bergabung dengannya. Sejujurnya Davina terkejut sekaligus cemas. Ia tahu Devon tidak memakai apa-apa di balik jubah mandi itu. Dengan keadaan seperti ini, Davina jadi berdebar sendiri.
"Jadi film seperti ini yang menjadi seleramu," gumam Devon sambil melipat kedua lengan di dada.
"Sebagai seorang istri, aku harus banyak-banyak belajar agar bisa memuaskan suamiku, bukan?" balas Davina yang mati-matian berusaha bersikap tenang.
Pria itu menoleh padanya dan tersenyum miring. "Oh, jadi sekarang kamu sadar akan tugasmu untuk memuaskan suami?"
Davina diam, sengaja tidak memberi respons.
"Baiklah. Karena kamu sudah bersikap manis dan penuh pengertian, dengan senang hati aku akan mengajarimu. Jadi mulai sekarang kamu tidak perlu belajar dari film lagi," ujar Devon.
Dasar Devon mata keranjang. Begini saja sudah langsung terpancing, ujar Davina dalam hati.
Ia pun menggigit bibir. Secara teknis, Devon memang sudah masuk ke jebakannya. Tapi entah mengapa rasanya ada yang terasa tidak beres. Davina pun menoleh dan mendapati mata Devon yang kini tengah memandang ke dadanya.
"Seingatku, kamu bilang tidak tertarik padaku. Jadi untuk ap—"
"Tentu saja untuk mengajarimu. Kamu sendiri tadi yang bilang ingin memuaskan suamimu," potong Devon.
"No, thanks," tolak Davina. "Aku bisa belajar sendiri. Aku lupa kalau kamu tidak tertarik padaku. Jadi pelajaran ini akan kusimpan sendiri saja."
Alis Devon menyatu, tanda tidak setuju dengan penolakan Davina. Namun perlahan, eskpresinya berubah kembali datar. "Oke, kalau begitu silakan tidur di tempat lain. Aku tidak bisa berbagi ranjang denganmu. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku memang tidak tertarik padamu."
Davina kesal. Lagi-lagi Devon memulai permainan usir-mengusirnya. Ia harus membalas pria ini.
Davina tersenyum tipis dan merangkak mendekati Devon. Alis pria itu seketika naik sambil menatapnya. Dada dan paha Davina yang terpampang di hadapannya benar-benar membuat Devon goyah.
"Suami, vila ini hanya punya satu ranjang. Hanya ini satu-satunya tempat yang nyaman untuk tidur," ucap Davina dengan suara rendah yang menggoda. "Kamu bukan pria tak bermoral yang membiarkan istrimu tidur di tempat yang tak nyaman, kan? Lagi pula, jika kamu tidak berminat padaku, seharusnya tidur seranjang denganku bukanlah masalah besar."
Devon mendengus. "Aku tidak suka berbagi ranjang dengan perempuan yang tidak bisa menghangatkanku."
"Sebentar," Davina mengangkat tangannya ke depan wajah Devon. "Aku tahu kamu punya track record yang spektakuler mengenai urusan ranjang dengan banyak perempuan. Jadi mungkin ini adalah kali pertama bagimu tidur satu ranjang dengan perempuan tanpa melakukan kebiasaanmu itu."
Devon kembali memandangnya dengan alis bertaut.
"Tapi..." sambung Davina. "Terlepas dari itu semua, dalam kondisi kali ini ranjang yang akan kamu tempati bukan hanya menjadi milikmu. Kamu tidak bisa mengklaim ranjang bulan madu kita sebagai milikmu sendiri. Aku juga punya hak di sini, dan aku tidak keberatan berbagi ranjang denganmu. Tapi jika itu menjadi masalah buatmu, silakan saja kamu yang pindah."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Imperfect Husband
Roman d'amourRating cerita: 21+ ((PERINGATAN KERAS!!! CERITA INI BANYAK MENGANDUNG ADEGAN DEWASA. BAGI PEMBACA YANG BELUM CUKUP UMUR ATAU YANG ANTI DENGAN HAL SEPERTI ITU, DISARANKAN UNTUK TIDAK MEMBACA CERITA INI)) Bagaimana rasanya dibenci oleh suami sendiri...