Stop it, Devon!

1.1K 86 6
                                    

Devon mengecup Davina dengan lembut. Perlahan, tapi menggoda. Sementara di sisi lainnya, Davina mengikuti permainan Devon dan membiarkan dirinya terbuai. Memang benar gosip yang beredar, Devon betul-betul perayu ulung.

Tangan pria itu menangkup dada Davina yang tanpa bra. Memijatnya lembut hingga membuat Davina mengerang. Merasakan hangatnya telapak tangan Devon yang memanjakannya.

Devon kemudian bergerak dan mengurung Davina di bawah tubuhnya. Sementara bibirnya kini bergerak menyusuri garis leher istrinya, turun hingga ke pundak, dan terus bergerak ke bawah.

Davina masih menatap ke langit-langit ketika merasakan tangan Devon menarik turun tali pakaian tidurnya. Pria itu kemudian menurunkan garis pakaian di dadanya dan kembali menyentuh dadanya yang kini tanpa penghalang.

Davina sedikit terkesiap ketika Devon kembali menyentuhnya dengan bibir. Lidah pria itu juga bermain di sana. Seluruh saraf Davina terasa aktif hingga ia menjadi sangat sensitif dengan sentuhan Devon.

"Devon... Plis..." Tangan Davina beranjak ke kepala Devon, membenamkan jemarinya di sana. Sekuat tenaga Davina berusaha kembali menyadarkan diri, meski kini bagian bawah tubuhnya terasa basah dan nyeri.

"Devon..." Kali ini Davina menjambak rambut Devon. "Please... Stop!"

Devon berhenti. Dari atas dada Davina, pria itu menatapnya bingung.

"Stop..." ujar Davina lirih. Matanya kini berkaca-kaca. Bukan karena ingin menangis, namun karena ia mati-matian menahan hasrat yang bergolak di dalam dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Davina tidak boleh secepat ini menyerah dan takluk pada Devon.

"Kenapa?" tanya Devon.

Davina menggeleng.

"Kenapa?" tanya Devon lagi.

Davina mengulurkan tangan dan menyentuh pipi pria itu. "Jangan lakukan sesuatu yang akan kita sesali nantinya."

"Tapi kamu menikmatinya," ujar Devon.

Davina memejamkan mata. "Tapi aku hanya ingin melakukannya dengan orang yang mencintaiku," bisik Davina.

Ucapan itu membuat tubuh Devon menegang. Pria itu kemudian segera menyingkir dari tubuh Davina. Ketika Devon menjauh, saat itu pula Davina segera memperbaiki pakaiannya dan langsung berbaring menyamping membelakangi Devon.

***

Ketika bangun keesokan paginya, Davina menemukan wajah Devon persis berada di hadapannya. Pria itu tidur menghadapnya. Pakaiannya sudah diganti dengan piyama, bukan lagi jubah mandi seperti semalam. Matanya terpejam, sementara napasnya tampak teratur.

Diam-diam Davina mengamati wajah suaminya. Dimulai dari alis tebal Devon yang membingkai matanya, turun ke hidungnya yang mancung, lalu berhenti di bibirnya yang sering kali mengucapkan kata-kata menyebalkan. Secara keseluruhan wajah tampan Devon bisa disebut maha karya yang indah yang diciptakan Tuhan. Andai pria ini tidak punya temperamen buruk dan mendeklarasikan perang dengannya sejak awal, mungkin Davina bisa jatuh hati pada wajah tampannya.

Davina menarik napas dalam-dalam. Mengapa mereka harus berakhir seperti ini? Lebih parahnya lagi, semalam ia mulai menyesal telah merencanakan rencana balas dendam. Mereka berdua nyaris saja terhanyut, lalu dengan terpaksa mengakhiri semuanya sebelum terlambat,

Andaikan sejak awal Devon tidak langsung menunjukkan rasa tidak suka padanya. Andai saja pria itu tidak mendeklarasikan permusuhan. Mungkin mereka bisa mencoba saling mengenal dan mengakrabkan diri. Setelahnya, apakah bisa saling mencintai atau tidak, bisa mereka putuskan setelah mencoba. Namun kenyataannya berbeda. Devon langsung memutus hal itu semuanya. Tidak ada coba-coba. Yang ada hanya mereka harus menjalani ini semua meski harus saling menyakiti.

Davina bangkit dan beranjak dari ranjang. Semakin lama ia menatap Devon, semakin banyak pengandaian yang berkecamuk di pikirannya. Ia lalu membuka pintu secara perlahan, dan melangkah keluar kamar menuju teras lantai dua. Sebentar lagi matahari akan terbit. Davina pun menaiki anak tangga tanpa alas kaki, lalu membuka pintu kaca menuju teras.

Dinginnya udara pagi langsung menyambutnya ketika Davina melangkah ke teras lantai dua tersebut. Sambil memeluk dirinya, Davina melangkah di lantai kayu dan duduk di kursi teras yang beralaskan bantalan empuk dan memiliki atap rendah berbentuk kubah dari daun kering. Teras atas vila ini memiliki pemandangan yang bagus. Jika duduk di sisi ini pagi hari, kamu akan melihat matahari terbit. Dan jika duduk di sisi yang berseberangan pada sore hari, kamu bisa menikmati matahari terbenam.

Matahari perlahan bergerak naik. Memancarkan sinar keemasannya. Davina tersenyum tipis dan beranjak dari kursi menuju sisi pagar pembatas untuk menikmati sinar matahari yang perlahan membuat semuanya tampak jelas.

Ketika cahaya tersebut semakin terang, Davina pun menutup matanya. Membayangkan jika ia menikmati hal ini dengan seseorang yang memeluknya dari belakang, memberikannya kehangatan di tengah udara pagi yang masih terasa dingin ini. Seseorang yang teramat mencintainya, dan begitu memujanya. Hal yang ia sadari tidak akan pernah ia miliki karena telah terikat dengan seorang Devon Mahawira. Tidak ada perceraian dalam pernikahan ini. Sekalipun Davina menemukan pria yang mencintainya, ia tidak bisa bercerai dari Devon. Setidaknya selama orangtuanya hidup. DM Corp akan terpecah jika ia melakukan itu, dan para pesaing akan sangat senang jika sampai hal itu terjadi.

Di tengah perasaannya yang mendadak mellow itu, tiba-tiba dua buah lengan muncul dari belakang dan memeluk Davina erat. Davina terkejut. Namun ia belum sempat menoleh ketika sebuah suara berbisik di telinganya.

"Kamu bisa masuk angin jika berpakaian seperti ini di luar," bisik Devon.

"D-devon, lepas." Dada Davina mendadak berdebar. Ia baru saja membayangkan hal ini, namun seketika jadi kenyataan. Ia tidak bisa membiarkan perasaan meletup-letup penuh kebahagiaan ini menguasainya karena Devon bukanlah pria yang ia harapkan. Devon tidak mencintainya.

"Aku juga ingin melihat matahari terbit," jawab Devon.

"Tapi kamu bisa lepaskan aku."

"Tidak mau," ujar pria itu. "Akan sangat merepotkan jika kamu sampai masuk angin."

"Aku tidak akan masuk angin," kata Davina.

"Untuk berjaga-jaga, jika kamu sampai masuk angin, aku yang akan dibuat repot."

"Tapi..."

"Hey, aku sudah bilang kan semalam. Bisakah selama di sini kita lupakan apa yang terjadi di antara kita dan nikmati saja semua ini bersama-sama?"

Davina menjauhkan tangan Devon, lalu melepaskan diri. Ia pun memutar tubuh menghadap pria itu.

"Hanya selama di sini?" tanya Davina.

"Ya, setelahnya kita bisa kembali seperti semula," jawab Devon.

Davina diam. Kembali seperti semula katanya. Mereka akan hidup sendiri-sendiri meski sudah berstatus suami istri. Bukan ini yang Davina mau.

Davina menarik napas dalam-dalam. Devon tetaplah Devon. Hanya akan melakukan sesuatu untuk kepentingan dirinya sendiri. Davina tidak akan pernah sudi jika hanya dijadikan pemuas nafsu.

Ia pun mengangkat dagu, lalu menatap Devon. "Terserah kamu saja," ujarnya lalu beranjak meninggalkan pria itu seorang diri di sana.

***

Bersambung....

Halo... Maaf baru update ya. Lagi banyak kerjaan dan banyak yang mau ditulis, sampe bingung sendiri dan akhirnya berakhir gk nulis apa2. Hehe

Moga kalian masih setia nungguin update-an saya di cerita2 lainnya ya :")

The Imperfect HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang