- Bagian Tiga -

40 8 6
                                    

Mengingat yang telah terlewat
Atau
Melewatkan yang masih teringat?
- My Favourite Rendezvous -

Tatapan mataku terfokus pada sesosok cowok tinggi berbadan proporsional dengan indeks BMI kira-kira dua puluh koma sekian. Kulit putih untuk ukuran orang Indonesia. Kening yang lumayan lebar karena rambutnya yang lurus setengah ikal hanya mampu menutupi setengahnya. Alis standar yang pas menaungi mata sipit hitam kecoklatan.

Oh iya, jangan lupakan pipi tirus yang menghiasi wajahnya. Kumis tipis yang jadi pembatas hidung mancung yang tidak terlalu mancung dengan bibir tipis merah yang sepertinya tidak pernah mencicipi nikotin. Serta satu lagi, dagu yang lumayan agak lancip terlihat sangat pas membingkainya.

Turun ke bahu yang tidak terlalu lebar, kurasa dia bukan tipe cowok yang hobi nongkrong di gym. Lalu celana jeans hitam yang membalut kaki panjangnya. Terlihat serasi dengan kaos oblong putih bertuliskan kata-kata yang ribet jika dibaca.

"Beneran lupa?" Dan tanpa kusadari, dia sudah mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Hah? Apa?" gagapku. Aku sama sekali tak mengingat apapun tentang cowok ini. Satu kata 'kita' dan aku sungguh tidak mengerti dengan maksud perkataannya.

"Hoh, hahahaha ...." Tak kusangka, dia malah tertawa lepas. Tawa yang sekaligus mengingatkanku pada sesuatu hal yang terlalu sulit kulupa hingga kini.

"Hah? Apa?" Aku memutar otak, berusaha memahami maksud kalimat yang ia lontarkan.

"Hoh," jawab seseorang di seberang sana. Suara yang damai dan menenangkan sekaligus menyebalkan. Dia selalu saja mengucapkan kata itu saat aku tidak memahami makna kalimatnya.

"Dih." kesalku.

"Ya lo diajak ngomong hah hah mulu. Bingung gue jelasinnya." keluhnya, terdengar meramaikan sepinya malam ini.

"Kan gue nggak ngerti, lo kan tau gue lola."

"Lolanya kebangetan sih, hahahaha ...." pungkasnya dan malah semakin tertawa tidak jelas.

"Lo kenapa?" Sekali lagi, aku terkejut mendengar suara cowok ini.

"Nggak apa-apa, kok." Aku memundurkan wajah dan berusaha menormalkan ekspresi.

Cowok itu mengedikkan sebelah bahu dan menyedekapkan kedua tangannya.

"Lapangan, dini hari, jam tiga, me time." racaunya.

"Hah?" bingungku.

"Beneran nggak berubah." Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum ringan.

"Hah? Apa?" Aku semakin bingung dengan maksud ucapannya.

"Gue ulang ya. Lapangan, jam tiga dini hari, me time, masih nggak inget juga?"

Aku gantian menggeleng, tidak mengerti.

"Lo beneran pikunan deh." Dia mulai terlihat kesal.

"Waktu itu gue pakai kacamata, mungkin lo pangling?"

Aku membongkar semua memori yang tersimpan untuk mengingat siapa saja yang kutemui selama berada di kota ini. Dan, setelah lumayan lama aku mengotak-atik hippocampus yang kumiliki, aku baru ingat. Ternyata dia adalah cowok menyebalkan yang sok nggak percaya dengan adanya kebetulan. Pantas saja gaya bicaranya seperti tidak asing.

"Sorry, tapi gue kesulitan mengingat wajah orang yang baru sekali dua kali ketemu." ungkapku jujur, mengenai alasan kenapa aku tidak mengenalinya.

My Favourite RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang