- Prolog -

61 24 9
                                    

Sebelum menjadi saling,
semua adalah asing
Sebelum menjadi lekat,
semua memiliki sekat
- My Favourite Rendezvous -

"Kenapa harus ada sapa kalau akhirnya hanya ada sepi?" Tanyaku pada lahan kosong di depanku.

"Kalau bisa ada sepi kenapa harus ada sapa?"

Terkejut mendengar ada balasan dari ucapan absurdku, aku refleks berteriak, "Astagfirullah setan!"

"Hahahahahaha ... ya ampun!" Terdengar tawa lepas yang menggema memenuhi udara pagi ini.

Ketawanya mainstream ah, batinku kesal karena ternyata suara itu mengingatkanku pada seseorang.

"Makanya bu, pagi-pagi jangan ngelamun." Ucap si cowok setelah tawanya reda.

" For your information aja nih, gue nggak ngelamun ya. Gue lagi self talk."

"Sama dong. Gue juga lagi self talk."

"Lo nggak lagi self talk, lo ganggu self talk-nya orang."

"Tapi duluan gue di sininya, lo ganggu me time-nya orang dong."

"Gue nggak tahu, yang gue tahu gue di sini sendirian dari tadi."

" So? Adil kan? Kita sama-sama saling mengganggu." Terlihat siluet cowok memasukkan tangan ke saku celana pendeknya.

"Nggak usah nyari kesamaan, kita beda ya." Aku masih memperhatikan bayangan cowok yang berdiri sekitar dua meter dariku.

"Sama, bu. Kita sama-sama ada di sini pagi-pagi buta begini, kayak orang gabut aja hehehe ...." Cowok itu mengedikkan bahu kanannya sebentar, kedengarannya dia tertawa renyah.

"Hm ..., kebetulan aja ya, pak." Aku menggangguk mengiyakan ucapan si cowok, daripada berujung debat kusir yang panjang di jam tiga pagi.

"Tapi gue di sini dari jam duaan tadi. Nggak kebetulan dong. Lo yang ngikutin gue."

Kalimat yang diucapkan si cowok sukses membuat emosiku terpancing. Aku paling tidak suka dituduh mengikuti atau meniru orang lain padahal itu cuma kebetulan semata.
"Heh! Mana ada gue ngikutin lo. Gue aja nggak tahu lo ada di sini dari kapan."

"Emang kebetulan itu beneran ada? Kok gue nggak yakin." Si cowok menoleh ke arah kanan, sorot mata yang terbingkai kacamata persegi terlihat fokus ke arahku.

"Bodo amat tentang lo yakin apa nggak soal kebetulan. Gue paling benci dituduh niru atau ngikutin orang." Aku membalas tatapan itu, meski wajahnya hanya samar-samar kulihat. Karena aku lupa membawa kacamataku.

"Hm? Berarti kesamaan dong, soalnya kita sama-sama ada di sini jam segini. Dan sama-sama lagi mikirin hidup. Padahal kita sama-sama nggak saling tahu apalagi saling kenal."
Aku melirik ke arah kiri, cowok itu masih menatap intens ke arahku.

My Favourite RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang