|light out

476 62 1
                                    

25 Maret 2020. Tanggal hari ini. Seperti biasa, Hyunsuk pulang dari kuliahnya dan duduk disofa ruang tamu. Namun seperti hari-hari sebelumnya, lebih tepatnya dua bulan terakhir. Dimana semuanya sudah tidak lagi sama. Tidak ada lagi suara-suara berisik dari dalam rumah, tidak ada suara bercanda, layaknya rumah yang tidak pernah ditinggali. Yang terdengar setiap hari sekarang hanyalah suara isak tangis Hyunsuk tiap malam.

Rumah ini sepi. Tidak ada Doyoung, tidak ada Haruto. Hanya satu orang yang sesekali kerumah, Hwang Yeji, yang biasanya datang seminggu sekali membawa bahan-bahan makanan untuk dimasak. Dia anak Hwang Hyunjin, sahabat sekaligus rekan kerja orang tua Hyunjin. Dulu ketika eomma dan appa baru meninggal, dialah yang biasanya datang mengurus kami. Namun karena kesibukannya, dia biasanya hanya mengirim barang-barang dan bahan-bahan yang kira-kira dibutuhkan Hyunsuk, Doyoung, dan Haruto. Setidaknya pada saat itu, sebelum Hyunsuk tinggal sendiri.

Hari ini Hujan, dan lagi-lagi Hyunsuk menangis. Kepalanya mau pecah rasanya karena rasa sakit ini. Hyunsuk ingin mati saja, tapi rasanya itu sangat tidak bertanggung jawab.

Hyunsuk suka bau hujan, mengingatkannya pada masa lalu.

~

"Kalau hujan paling enak makan mie instan," ujar Haruto asal.

"Kau mengode siapa?" Tanya Doyoung sinis.

"Hyung-hyung ku yang tercinta," jawab Haruto sambil tersenyum sok polos. Hyunsuk sampai memalingkan wajahnya. Haruto sangat tampan, ia mengakuinya, karena itu tiap Haruto tersenyum ia merasa insecure.

"Mau kubuatkan mie instan?" Tanga Hyunsuk.

"Mau," jawab Haruto dan Doyoung hampir bersamaan.

"Lima ribu per porsi," ujar Hyunsuk lagi.

"Kalau begitu akan kubayar," ujar Haruto sambil mengeluarkan isi sakunya. Ada banyak sekalu recehan didalam sakunya. Haruto mulai menghitungnya satu persatu. Hyunsuk dan Doyoung sampai tidak percaya melihatnya.

"Yak Haruto. Simpan saja uang recehmu itu. Biar aku yang baik hati ini membuatkan mie instan," ujar Doyoung geram melihat recehan yang masih dihitung oleh Haruto itu.

"Kalian tidak tahu seberapa penting uang receh ini. Satu juta tanpa seratus sen tidak akan jadi seratus juta," jawab Haruto.

"Cih. Itu perkataan kakekku," sahut Hyunsuk.

"Kalau begitu kakekmu pintar sepertiku"

"Terpaksa kuakui itu. Karena kau membawa-bawa nama kakekku."

"Kaulah yang membawa-bawa nama kakekmu."

"Okay kalau begini mie nya tidak akan jadi-jadi," sahut Doyoung kemudian. Kemudian dia berdiri lalu berjalan menuju dapur. "Tapi kalau kalian merasa baik hati, tidak ada salahnya kalau mau membantuku."

"Dasar," ujar Hyunsuk, namun akhirnya tetap berdiri untuk membantu Doyoung. Haruto yang tidak mau sendirian pun akhirnya mengekori mereka juga.

Pada akhirnya, mereka membuatnya bersama, membuat mie mereka sendiri-sendiri.

"Haruto kenapa kau jorok sekali," ujar Doyoung yang melihat Haruto membuka bumbu mie instan sampai tercecer-cecer keluar piring.

"Apa pedulimu!" Haruto malah menjawab sinis.

"Ingin kubuang saja anak ini rasanya," kesal Doyoung. Haruto malas menanggapi dan melanjutkan membuat mie nya. Begitupun Hyunsuk dan Doyoung.

~

Bukankah kenangan seperti itu terdengar sangat klise. Ya, memang klise. Tapi sangat menyakitkan untuk diingat Hyunsuk. Namun, Hyunsuk bisa apa.

Hyunsuk pergi kedapur, mengecek stok mie instan didapur. Tapi ternyata kosong. Yah bagaimana tidak kosong kalau hari-harinya hanya makan mie instan.

"Cari Mie instan?" Seseorang tiba-tiba mengejutkan dengan berdiri didepan pintu dapur. Hyunsuk sempat kaget walau tak bersuara.

"Tidak, Hanya mengecek stok. Kebetulan kau datang," jawab Hyunsuk sambil pergi melaluinya.

"Mau kubuatkan mie instan?" Tanyanya, yang tak lain adalah Hwang Yeji. Hyunsuk berhenti berjalan, dia diam sejenak. Sudah lama tidak ada yang bertanya atau kenawarkan seseuatu kepada Hyunsuk sepertu yang Yeji tawarkan.

"Tidak," jawabnya kemudian melanjutkan jalannya. Hyunsuk memutuskan keluar rumah, sekedar untuk melihat derasnya hujan.

Udara yang dingin, tapi Hyunsuk tak merasa kedinginan walau hanya menggunakan kaos tipis.

"Sedang ber-nostalgia?" Tanya Yeji, yang lagi-lagi mengejutkannya dengan tiba-tiba berada disampingnya.

"Tidak. Hanya sedang menikmati hujan," jawab Hyunsuk.

"Lidahmu bisa berbohong. Tapi matamu tidak," ujar Yeji lagi.

"Berbohong apa?"

"Kau kesepian. Kau terbiasa dengan keramaian rumah, karena itu kau kesepian," ujar Yeji. Yang dikatakan Yeji tidak salah, namun perasaan ini lebih menyakitkan daripada sekedar kesepian.

"Apakah menyakitkan?" Seakan mampu membaca pikiran Hyunsuk, Yeji tiba-tiba bertanya seperti itu. Hyunsuk memilih tidak menjawab, tidak mau rasa sakit ini semakin terasa dengan berbicara lebih.

"Bukankah kehilangan memang sesuatu yangsangat menyakitkan?" Tanya Yeji lagi. "Tapi setidaknya kau harus tau, bahwa manusia pergi meninggalkan dunia ini tiap detiknya. Tiap detik ada manusia yang melakukan perpisahan. Tapi itu adalah resiko, resiko dari pertemuan. Karena tiap pertemuan pasti ada perpisahan."

Hyunsuk berusaha menelan kata-kata itu, walaupun hatinya tak mampu.

"Tapi aku sendirilah yang menyebabkan perpisahan itu," ujar Hyunsuk akhirnya. Yeji menggeleng.

"Itu adalah takdir tuhan. Bagaimanapun juga kau tidak bisa menyangkalnya," ujar Yeji. "Yang mati akan tetap mati, dan yang hidup harus tetap hidup."

"Kenapa kita tidak diperbolehkan memilih saja? Aku ingin mati, tapi dunia ini seperti menahanku untuk pergi, menyuruhku untuk tetap bertahan dengan seluruh penderitaan ini," ujar Hyunsuk lirih.

"Selalu ada alasan kenapa kita masih hidup di dunia ini. Suatu hari kau pasti mengerti."

"Kuharap begitu."

Hening sejenak, sampai Yeji melirik jam ditangannya dan merasa harus pulang sekarang juga. "Aku harus pulang sekarang. Jaga dirimu baik-baik," ujar Yeji sambil berjalan kearah mobil yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sebelum benar-benar masuk ke mobil, Yeji kembali menoleh kearah Hyunsuk.

"Kau... tidak berniat mencari Doyoung?" Tanya Yeji hati-hati. Namun Yeji jadi merasa bersalah telah menanyakan hal itu. Karena setelah itu, raut wajah Hyunsuk menjadi tidak biasa. Namun pada akhirnya, Yeji melanjutkan lagi ucapannya.

"Haruto memang sudah pergi, tapi Doyoung masih ada. Setidaknya bertahanlah untuk seseorang yang masih ada," ujar Yeji sebelum benar-benar masuk ke mobil dan pergi meninggalkan Hyunsuk yang sedang berusaha menelan kata-kata Yeji barusan.

Hyunsuk bukannya tak mau mencari Doyoung. Hyunsuk tahu dimana Doyoung. Dia hanya takut menerima kenyataan bahwa sekarang Doyoung membencinya.

~~~~~

Sesuai janji aku update malem :v

AFTER BRIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang