Somi mematung, tangannya yang hendak memutar knop pintu ia lepas kembali. Lutut Somi terasa lemas seketika saat mendengar ucapan Mark dan Lee di dalam sana.
Entah emosi apa yang bisa Somi gambarkan saat ini. Yang jelas dadanya terasa bergemuruh hebat seperti ada longsoran batu. Sedih? Marah? Tidak. Kenapa dirinya harus merasakan itu semua. Hanya saja–
"Ada yang bisa saya bantu?" seorang perawat menghampirinya.
Somi melirik tas bekal di tangannya. "Tolong titip ini buat dokter Mark."
Tangannya menyodorkan tas bekal pada perawat. Somi mengurungkan niat untuk masuk ke dalam sana. Rasanya aneh dan Somi mungkin akan gugup jika berhadapan dengan mereka. Mantan tunangannya dan sahabat yang pernah ia sukai adalah adik kakak. Bagaimana Somi bisa sesembrono itu dulu?
"Anda tidak ma–"
"Gak perlu, saya masih ada urusan. Maaf merepotkan, saya permisi." Somi menunduk dengan lesu. Ia bahkan tidak menatap wajah sang perawat. Tatapannya hanya tertuju pada lantai, rasanya seperti seluruh rumah sakit berguncang.
Kakinya cepat-cepat melangkah keluar dari rumah sakit. Ia takut Mark dan Lee akan memergokinya di sana, Somi tidak bisa mengatasi kecanggungan yang akan terjadi nanti. Lagipula ia masih harus memahami situasi dan menanyakan lebih banyak hal pada papanya.
Apa benar Lee dan Somi pernah bertunangan?
Lalu kenapa mereka membatalkannya?
Kenapa Lee tidak mencarinya?
Kenapa Lee bersikap seolah mereka tidak pernah ada apa-apa antara mereka?
Apa yang terjadi pada Somi dulu?
Kejadian buruk apa yang menimpanya sampai Mark semarah itu?Terlalu banyak yang tidak Somi pahami. Ia tidak tau apapun. Semua orang di sekitarnya bersekongkol untuk membodohi Somi.
***
Lee duduk di sofa dengan wajah babak belur, sedangkan Mark tidak mendapat luka sedikitpun. Ya, Lee tidak mendapat kesempatan untuk membalas sampai seorang perawat masuk dengan wajah terkejut.
"I–itu kenapa?" tunjuknya pada Lee yang benar-benar hancur setelah dipukuli.
"Gakpapa, saya abis dipukulin pereman." Jawab Lee dengan penekanan, matanya melirik dengan sinis ke arah Mark yang tengah duduk santai sambil mengelap kacamatanya. Seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ada apa?" sela Mark cepat.
"O–oh, ini Dok. Tadi ada perempuan titip ini buat Dokter."
Mark mengernyitkan dahi.
"Perempuan yang rambutnya panjang mungkin sepinggang, eh– sepunggung?" perawat itu terlihat berpikir beberapa saat. "Maaf saya lupa tanyain, tapi saya sering liat dia ketemu dokter."
"Oh, Somi."
"Somi? Sekarang dia dimana?!" Lee heboh.
"Dia udah pergi, saya liat tadi dia berdiri di depan pintu lama banget mungkin sekitar 15 menit. Terus pas saya samperin dia malah pergi."
"APA?" Lee, Mark, dan Lucas bersamaan.
Lee cepat-cepat berlari keluar disusul oleh Mark. Perawat yang masih berdiri menatap Lucas dengan syok. Bagaimana bisa dia diteriaki tiga orang pria sekaligus.
Lucas menggaruk tengkuknya sambil menatap si perawat dengan frustasi.
"Kacau."
***
"What?! Ini serius?"
Somi mengangguk pelan menatap layar laptop di atas meja. Nancy terlihat melempar masker wajahnya asal. Dari raut wajahnya Somi bisa melihat kalau perempuan itu syok mendengar ceritanya.
Jika Nancy sekaget itu, apa kabar dengar Somi?
"Aku bingung," keluhnya.
"Apa yang lo bingungin? Jujur aja sama gue, lo ada rasa gak tiap ketemu dia?"
Somi menggeleng, semenjak bertemu Lee tidak ada perasaan apapun yang muncul. Terkecuali pada Mark, apa mungkin karna Mark cinta pertamanya?
"Yaudah, kalo gitu lo gak usah bingung! Dia cuma masalalu lo, lagian kenapa sih lo dulu harus suka sama om-om? Umurnya udah mau 40 taun kaliiiiiiiii. Gila aja lo mau nikah sama dia."
"Mana aku tau, tapi aku masih bingung kenapa dulu kita tunangan? Apa dijodohin? Terus aku nolak dan kabur sampai akhirnya kecelakaan?"
"Denger cerita lo, kalo dari omongan mereka gak gitu deh. Kayanya kalo adek si Lee bersikeras nutupin ini berarti ada sesuatu yang terjadi sama lo, kalo cuma kecelakaan gak mungkin ditutupin."
Somi menghela nafas berat, ia membenturkan kepalanya pada meja beberapa kali. Benar juga, kalau cuma kecelakaan harusnya mereka tidak menutupi ini dari Somi. Toh, ini hanya sebuah kecelakaan.
Sebenarnya apa yang terjadi pada Somi dahulu. Apa bertanya pada papanya tidak akan masalah? Papanya sudah sangat lemah terbaring di ranjang setiap hari.kalau bertanya sesuatu yang membebankannya bisa-bisa penyakit jantungnya kambuh. Somi sangat penasaran, bahkan kepalanya ini tidak membantu sama sekali. Tidak mengingat apapun selain Guanlin.
"Guanlin!" pekik Somi tiba-tiba.
"Hah? Apa?"
"Aku tau harus nyari informasi kemana." Semangat Somi. Sepertinya Guanlin adalah harapan Somi satu-satunya.
"Kemana?" tanya Nancy bingung. "Tapi Som–, gimana kalau ternyata masalalu lo beneran bukan ingatan yang baik? Lo yakin masih mau nyari tau? Gak bisa apa lo biarin aja semuanya berlalu gitu aja."
Somi berpikir beberapa saat lalu tersenyum simpul. Ia tau sahabatnya itu khawatir. Tapi Somi paling tidak bisa hidup dengan rasa penasaran.
"Nanti aku kabarin lagi." Somi memutus panggilan vidio sepihak.
Mungkin besok Somi bisa menemui pria itu di restorannya. Mark tidak akan ada di sana karna bekerja, Somi bisa leluasa menodong jawaban dari Guanlin. Bagaimanapun caranya ia harus berhasil membuat Guanlin berbicara. Tidak perduli apapun.
Apapun hasilnya Somi siap. Ingatan buruk atau apapun ia tidak masalah, toh, itu hanya sepotong cerita di masa lalunya. Somi akan baik-baik saja. Buktinya setelah mendengar kalau dirinya dan Lee sudah pernah bertunangan saja ia tidak apa-apa. Somi sudah tidak memiliki perasaan apapun soal masalalu, ia hanya penasaran dan sekedar ingin tau apa yang terjadi. Itu saja.
"Aku bakal baik-baik aja. Apapun itu, semuanya cuma masalalu." Ia meyakinkan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ahjussi 2 - Memories - [LENGKAP]
FanfictionDisarankan untuk baca Ahjussi yang pertama dulu. "Tidak ada yang permanen di dunia ini - termasuk permasalahan kita." Kutip Charlie Chaplin (14 May 2020)