Kencan Pertama

222 34 2
                                    

PADA akhirnya aku bersedia untuk dijodohkan dengan Junggo. Lagipula jika aku menolak, rugi sekali. Bukan sekali, mungkin puluhan bahkan ratusan kali.

Junggo itu memiliki sejuta pesona yang mampu membuat wanita mana pun jatuh cinta. Ini terdengar lucu, tapi bahkan tanpa usaha berlebih, sosok Junggo sendiri sudah menjadi alasan orang lain menyukainya. Tak perlu mengenal lebih dalam, Junggo sudah mencuri hati semua orang bahkan hanya dengan senyuman.

Lalu ketahuilah, ia juga sudah mencuri hatiku sejak pertemuan pertama kami di kafe waktu itu.

Hari ini--satu minggu setelah pertemuan pertama--Junggo memintaku untuk bertemu. Bukan di kafe, ia berencana mengajakku berjalan-jalan. Petang itu, sosoknya terlihat mengkilau dalam balutan skinny jeans berwarna hitam, kaus hitam juga sebuah jaket berwarna senada yang memeluk tubuh kekarnya. Sepatunya besar dan berwarna hitam juga.

Oke, kutarik kesimpulan, Junggo menyukai warna hitam.

Junggo itu ingin mengajakku jalan-jalan atau mencuri, ya? Tampilannya ini sekalipun terlihat kasual, tetap tak bisa menutupi setelan ala-ala pencuri atau pelaku kejahatan. Iya, pencuri yang sudah mencuri hatiku dan sialnya pelakunya ini tampan sekali.

Pasalnya aku mengalami krisis kepercayaan diri sebab saat ini aku hanya menggunakan dress di atas lutut berwana kuning pastel dan membiarkan rambutku tergerai. Entahlah terlihat serasi atau tidak. Namun kuharap ia tidak keberatan dengan penampilanku saat ini.

Dalam perjalanan, Junggo mulai membuka suara.

"Kita ingin kemana?" tanyanya.

"Loh, kau mengajakku tapi tidak tahu tujuannya?"

Ia tersenyum geli. Hidungnya mengkerut lucu, ada lipatan pada kedua matanya. "Saya hanya bertanya, barangkali ada tempat yang ingin kamu kunjungi."

Ada jeda panjang di sana, jemarinya bermain pada kemudi. Aku tak terlalu memperhatikannya setelah kalimat yang terakhir ia lesatkan. Mobil bergerak melewati deret gedung di sepanjang jalan. Lantunan musik dari lagu berjudul At My Worst mengalun pelan.

"Bagaimana kalau ke Hongdae? Kamu keberatan?" tanyanya seraya melirik padaku sekilas.

"Tidak juga, aku suka."

"Baiklah, kita akan ke sana dan bersenang-senang."

Sebenarnya saat pertama kali bertemu dengan Junggo, aku bisa menebak bahwa dia adalah sosok yang pemalu, agak canggung, dan tak banyak bicara. Memang benar, hampir semuanya. Namun semakin ke sini, saat kami bertukar kabar melalui pesan juga sesekali melakukan sambungan telepon, aku dapat menyimpulkan bahwa Junggo tidak seperti itu. Dia ini baik dan ramah, begitu lembut dan pengertian. Ingatan tentang dirinya yang kerap kali menyuruhku untuk tidur lebih awal agar tidak kelelahan selalu membuatku merona. Cara bicaranya sangat santun, dia juga terlihat seperti lelaki yang tak senang menggoda lawan jenis.

Junggo kerap memberikan sedikit waktunya hanya untuk memberiku kabar. Tak peduli ia tengah sibuk bukan main atau lelah bukan kepalang, biasanya sepuluh sampai lima belas menit menjelang makan siang dan sebelum tidur, ia akan menghubungiku.

"Hai, sudah makan siang?" katanya dengan nada lembut. Aku bisa mendengar hela napasnya juga ketukan pena yang berulang.

"Eum, baru akan memesan. Kau sendiri?" Di sini aku sedang berusaha untuk menormalkan detak jantungku yang bertalu abnormal.

"Tidak ke kafetaria?" tanyanya lagi.

"Makanan kafetaria bukan seleraku. Maksudku, aku tidak terbiasa dengan menunya."

Ia tertawa di sana, aku bisa membayangkan bagaimana ekspresinya hanya dengan mendengar suaranya. Begitu tampan dan manis. "Mau saya pesankan sesuatu? Barangkali ada yang ingin kau makan? Katakan saja."

"Ini kencan pertama kita, bukan?" Suara tersebut lantas memutus benang memoriku beberapa waktu silam. Aku yang terkejut menoleh dan mendapati Junggo yang tersenyum.

Seraya menyelipkan surai karamelku, aku mengubah posisi agak condong ke arahnya. Dari sini aku bisa melihat dengan jelas bagaimana kulitnya agak sedikit berwarna merah muda. Alisnya tajam, tetapi kesan yang didapat adalah kelembutan dan ketegasan.

Segala hal tentang pemuda ini lagi dan lagi berhasil membuatku jatuh cinta.

"Setelah pertemuan minggu lalu, dan ini kedua kalinya kita bertemu. Maka kupikir iya."

Junggo terkekeh, tangannya terulur mengusak rambutku. "Jangan canggumg begitu dengan saya. Santai saja, Kei."

Oh, ya Tuhan. Mati aku. Jantungku saat ini berdetak kencang sekali. Bagaimana sapuan tangannya di atas kepalaku membuat tubuhku seketika memanas. Dengan perlahan, aku memutar tubuhku dan membuang pandangan ke luar jendela. Rasanya ingin beteriak dan aku mengalihkannya dengan menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Semoga Junggo tidak menyadari wajahku yang berubah semakin merah dan panas.

Setelah percakapan itu, aku tak lagi bicara sebab ingin melindungi diriku sendiri. Aku tidak ingin mati muda karena serangan jantung. Ayolah. Aku belum resmi menjadi istrinya, masa sudah mati duluan? Kan, tidak lucu.

"Kei?"

Wah, wah, sial. Dia memanggilku! Ini aku harus bagaimana? Ya Tuhan, jantungku sakit rasanya.

"Eumm?" Karena tidak bisa menjawab, aku hanya bergumam saja sambil melirik ke arahnya.

Junggo masih memfokuskan pandangannya pada jalan, tetapi sesekali matanya bermain-main dan melirik ke arahku.

"Bagaimana kuliahmu? Berjalan lancar?"

Aku lupa menceritakan ini, aku adalah mahasiswi fakultas kedokteran di salah satu universitas di Seoul. Sudah memasuki tingkat akhir, tahun ini sudah bisa praktik koas.

"Ya, berjalan seperti biasa."

Dia mengangguk. Kami tak lagi berbicara setelah aku menjawab pertanyaannya.

"Apakah sulit?"

"Apanya?"

Junggo menoleh. "Menjadi mahasiswi kedokteran. Saya memiliki sepupu yang kuliah di fakultas kedokteran juga, dia sering stres dan kelelahan."

"Aku juga seperti itu, kadang kalau tugas menumpuk bisa jauh lebih parah. Aku bisa berubah menjadi zombi."

Junggo tertawa pelan saat aku menjawab. Aku bisa melihat matanya berbinar, ada cairan terang di sana. Oh, satu lagi, ternyata Junggo memiliki lesung pipi yang tak begitu kelihatan. Jika pemuda itu sering tertawa, pasti lubang indahnya itu akan menampakkan diri. Tampan.

"Tetapi selama kamu bekerja keras dan mau belajar, saya yakin rasa lelahmu akan digantikan dengan kesuksesan di masa depan. Bertahan sebentar saja, saat ini kamu sedang dibentuk untuk menjadi dewasa dan kuat. Ini baru sedikit beban dunia yang kamu rasakan. Saat kamu bertambah usia, semakin bertambah dewasa, semakin banyak beban yang akan kamu tanggung." Junggo memarkirkan mobilnya. Ia melepas sabuk pengaman dan mencondongkan tubuhnya ke arahku.

Aku sontak mundur dan menatap kedua obsidiannya yang bisa kulihat dengan jelas karena jarak kami begitu dekat. Tangannya menyelipkan surai karamelku ke balik telinga, kemudian berujar, "Saya ingin kamu menjadi perempuan yang dewasa dan hebat. Itu tugas pertamamu menjadi istri saya. Saya ingin kamu menjadi perempuan yang bisa saya andalkan, bisa saya banggakan, bisa saya cintai sebanyak yang saya inginkan. Singkatnya, saya ingin kamu."

Junggo melepaskan sabuk pengamanku, membubuhkan kecupan di keningku sebelum berkata, "Ayo, Sayang. Kita sudah sampai." []

Saya-kamu yang bikin aku meleyot sksksk. Btw, ini short story, ya. Jadi per chapter gak panjang jumlah katanya.

Dhe
Oct 16, 2021

Roller Coaster ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang