Tidak Akan Berakhir Begitu Saja

146 26 0
                                    

Setelah menghabiskan malam bersama waktu itu, hubunganku dan Junggo masih berjalan seperti biasa. Sudah hampir enam bulan, Junggo masih bersikap seperti di awal-awal masa pernikahan kami. Ia masih irit bicara, lebih senang langsung berkata to the point daripada basa-basi. Junggo juga lebih senang bertindak, tak banyak ini dan itu.

Biasanya, ia akan rewel kalau sudah turn on. Mulutnya gatal dan bicaranya melantur kemana-mana. Tidak bisa direm. Berakhir dengan minta dimanjakan dengan tangan atau mulut. Junggo benar-benar tak berani menyentuhku lagi karena mau aku menyelesaikan kuliahku dulu.

Meskipun tak banyak berubah, sebenarnya ada sedikit perbedaan setelah kami berhubungan. Junggo mengizinkanku memasak untuknya, tak lagi memberikan tatapan tajam kalau aku kepergok sedang sibuk sendiri dengan pekerjaan rumah. Sayangnya, Junggo masihlah si workaholic yang lebih senang bercumbu dengan berkas-berkas daripada istrinya. Aku harus memutar otak agar bisa membuat Junggo lebih betah di rumah.

Siang ini, aku diajak mama mertua untuk belanja bersama. Kami mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan mewah di Seoul dan membeli beberapa barang. Mama mertua juga menyuruhku mampir ke salon, katanya aku harus mengubah penampilan agar terlihat jauh lebih segar.

"Nak, mau dipotong rambutnya, tidak?" Mama mertua duduk di sisi kanan. Kepalanya sedang dibalut handuk hangat. Omong-omong, kami sedang menipedi.

"Eumm ... aku bingung, Ma"

"Potong saja, ya, mau diwarnai juga boleh."

Sebenarnya aku ragu, tapi setelah dipikir-pikir ada benarnya juga. Aku membutuhkan penampilan baru yang jauh lebih segar agar terlihat rapi dan berbeda. Hitung-hitung mencoba gaya baru, biar tidak monoton.

Jadi, kuputuskan untuk memotong rambutku sebatas dada lalu diberi poni juga. Aku tidak mengubah warna rambutku karena masih sayang dengan rambut karamelku. Ini saja sudah cukup.

Mama mertua yang melihat penampilan baruku tidak berhenti menahan pekikannya. Beliau sampai menutup mulutnya, katanya, penampilanku berbeda sekali. Seperti anak muda.

"Cantik sekali menantuku!" Mama mertua memutar tubuhku, mengamati dari atas sampai bawah. Beliau juga mengelus rambut baruku, tersenyum dan mencubit kedua pipiku. "Junggo pasti akan terkejut melihatmu. Kau berbeda sekali, Sayang."

Well, saat aku bercermin, aku bahkan hampir tidak bisa mengenali diriku sendiri. Ini diluar ekspektasi, terlalu bagus. Kami akhirnya keluar dari salon setelah dua jam lamanya. Sebelum pulang, mama mertua mengajakku mampir ke tempat makan dulu. Kami mengisi perut sambil berbincang ringan. Awalnya begitu, tapi tiba-tiba mama mertua menyinggung soal anak.

"Kalian sudah mau enam bulan menikah, belum ada tanda-tanda, kah?" tanyanya pelan.

Aku menunduk, meminum air di gelas untuk membasahi kerongkongan. "Aku dan Kak Junggo sepakat untuk menunda sampai aku lulus, Ma. Maaf, ya."

Kulihat mama mertua menghela napas pelan. Aku takut mengecewakan, jadi kuambil tangannya dan dielus pelan, menenangkan. "Mama tenang saja, kalau aku sudah lulus, kami akan membicarakan soal anak lagi. Mama mau menunggu, 'kan?"

Sebenarnya, aku tidak masalah kalau aku hamil di masa-masa sekarang. Namun, Kak Junggo yang keberatan. Katanya, sebagai mahasiswi tingkat akhir tuh, rentan sekali kena stres, jadi akan sangat jahat kalau aku hamil dan memiliki anak. Kak Junggo bilang, bisa-bisa aku menjadi zombie kalau memiliki tugas ganda disela kesibukanku.  Jadi, menunggu satu tahun tidak akan lama, kok.

Selama perjalanan pulang, mama mertua banyak bercerita soal masa kecil Junggo. Ternyata dari kecil Junggo itu anak yang baik dan tidak nakal, makanya bisa pintar dan dikagumi banyak orang. Junggo juga tidak pernah berdekatan dengan lawan jenis. Biasanya ia akan jaga jarak karena mama mertua ancam dengan kalimat —'Kalau kamu bersentuhan dengan perempuan, nanti perempuan itu hamil. Memangnya kamu mau tanggung jawab?'

Roller Coaster ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang