Hari Pernikahan

122 26 1
                                    

Aku selalu berpikir bahwa aku ini terlalu muda untuk memikirkan soal pernikahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku selalu berpikir bahwa aku ini terlalu muda untuk memikirkan soal pernikahan. Masih ingin bermain dan menikmati waktuku seorang diri. Berteman dengan banyak orang, pergi ke banyak tempat dan membeli banyak barang kesukaanku. Intinya semua masih ingin kulakukan sendiri. Laki-laki belum menjadi fokus utamaku.

Bahkan, niatnya setelah lulus kuliah nanti aku ingin ke New York, tinggal di sana dan melanjutkan pendidikanku. Menikmati waktu sendiri di negeri orang bukanlah opsi yang buruk.

Namun itu dulu sekali. Saat aku masih sekolah menengah atas dan sedang asik-asiknya sendirian. Saat akan memasuki bangku kuliah, barulah kedua orang tuaku mengatakan bahwa sebenarnya aku sudah dijodohkan sejak kecil. Tentunya dengan seseorang yang tidak aku ketahui. Awalnya, aku menolak. Aku ingin menemukan jalan hidupku sendiri, ingin memutuskan akan menikah dengan siapa saja sesukaku tanpa campur tangan orang lain. Intinya tidak mau diatur-atur.

Mama dan Papa bahkan membujukku sejak aku masih berada di bangku sekolah akhir. Menyebalkan, bukan? Butuh waktu selama empat tahun bagi mereka membujukku sampai akhirnya aku mau menyetujui permintaan mereka. Dengan syarat; jika pada pertemuan pertama aku tidak berminat pada calon suamiku, maka aku akan menolak perjodohan ini.

Entah kedua orang tuaku terlalu percaya diri atau bagaimana, mereka bilang bahwa aku pasti akan menerima perjodohan ini. Bahkan katanya aku akan mengemis untuk dinikahkan dengan calonku itu. Cih, memangnya dia sekeren apa, sih?

Pada pertemuan pertama, untuk pertama kalinya aku menyesali keputusanku menunda pernikahan. Sosok pria yang akan dijodohkan denganku jelaslah lebih dari yang aku bayangkan. Aku mengira Mama dan Papa menjodohkanku dengan duda atau pria paruh baya yang tidak laku alias perjaka tua. Tetapi aku keliru. Benar-benar keliru.

Yang datang saat itu adalah Koo Junggo, pria tampan dan mapan yang memilih melajang. Pria selembut sutra, semanis madu dan sehangat mentari. Sosok yang membuatku merasa dihargai, dia yang menghadiahi tatapan seolah aku yang paling cantik, dia yang menyediakan waktunya hanya untuk mengabariku, dia yang mengutamakan kenyamananku di atas apa pun, sosok yang mengingat hal-hal kecil yang aku ucapkan dalam percakapan. Sosok yang dengan tegas mengatakan bahwa ia hanya ingin diriku, bukan yang lain.

Setelah yakin, aku memutuskan untuk memasrahkan hidupku padanya. Pada seseorang yang begitu banyak menyita atensiku. Sosok yang kini berdiri di hadapanku dalam balutan jas hitam yang membuat tubuhnya semakin gagah. Auranya semakin dewasa, sorot maniknya teduh. Aku seperti melihat figur seorang ayah dalam dirinya. Sosok ayah yang sedang tersenyum pada anaknya dan bersyukur pada Tuhan sebab dihadiahi sesuatu yang berharga.

Tatapannya penuh cinta, ketulusan serta rasa bangga.

Jemarinya yang menggenggam tanganku sedikit bergetar. Pria yang akan menjadi suamiku dalam beberapa menit ke depan ini jelas sedang menahan gejolak dalam dadanya. Aku juga sama. Aku gugup bukan main. Telapak tanganku dingin, berkeringat, dan Junggo membalasnya dengan mengelus punggung tanganku dengan lembut. Memberikan sentuhan yang membuatku menjadi lebih tenang.

Pendeta di hadapan kami menatap kami satu persatu di balik kacamata bundarnya yang sedikit melorot, kemudian berkata, "Apa mempelai pria bersedia menerima mempelai wanita dalam suka maupun duka, dalam tangis dan harapan, dalam sakit dan sehat?"

Aku bisa melihat Junggo mengangguk, menjawab dengan sangat yakin meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar. "Ya, saya bersedia."

Kini, pendeta itu memutar pandangan ke arahku. Menatapku dengan serius, memberikan pertanyaan yang sama; "Apa mempelai wanita bersedia menerima mempelai pria dalam suka maupun duka, dalam tangis dan harapan, dalam sakit dan sehat?"

Aku tidak langsung menjawab. Bukan karena ragu atau mendadak menyesal, aku hanya membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk mencerna semuanya. Menatap pria gagah yang sebentar lagi akan menjadi suamiku dalam waktu yang begitu singkat setelah pertemuan pertama. Jadi, begini, ya, rasanya berada di atas altar? Semuanya sudah dimulai, Kei. Mari belajar untuk menerima dan mencintai Junggo. "Ya, saya bersedia."

Aku melihat kedua mata Junggo yang berdenyar, air mata nyaris luruh dari sana. Pria gagah itu tersenyum begitu tulus saat mencium punggung tanganku pelan. "Aku akan mencintaimu lebih banyak hari ini dan akan lebih banyak lagi untuk hari esok."

Aku balas tersenyum. Kami sama-sama menahan lesakan air mata yang benar-benar nyaris tumpah saat pendeta merentangkan kedua tangannya diantara kami. "Demikian mereka bukan lagi dua, melainkan satu."

Aku resmi menikah. Aku resmi menjadi seorang istri dan Junggo sudah resmi menjadi suamiku. Riuh tepuk tangan menemani prosesi pemasangan cincin, lebih riuh lagi saat pendeta mengatakan, "Kalian boleh berciuman sekarang."

Aku langsung diam. Sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk ini. Junggo memang sudah mencuri ciuman pertamaku saat fitting kemarin, tetapi yang ini 'kan, berbeda. Yang ini jauh lebih menantang sebab dilihat banyak orang. Terlebih aku melihat seluruh tamu yang didominasi kolega perusahaan orang tuaku, perusahaan orang tua Junggo, teman-teman dekatku, serta teman-teman Junggo--banyak yang mengeluarkan ponsel, berniat mengabadikan momen ini. Serius. Aku gugup.

Junggo mengusap punggung tanganku guna menenangkan. Membawa atensiku hingga kini sepenuhnya menatap ke arahnya. Kami bertatapan cukup lama. Aku bahagia, mungkin Junggo juga bahagia. Aku tak bisa bersuara sebab Junggo tak melepaskan tatapannya dariku, aku merasa canggung.

"Aku mencintaimu," katanya. Setelah dia mengatakan itu, Junggo langsung menarik pinggangku, membawa tubuhku mendekat padanya, perlahan mengikis jarak dan menempatkan bibirnya di atas bibirku dengan hati-hati, otomatis membuatku langsung menutup mata. Aku merasakan bahwa ciuman ini jauh lebih mendebarkan daripada yang pertama. Terasa indah dan agung. Bahkan aku tak sadar sudah meneteskan air mata.

Junggo membawa tubuhku ke dalam pelukannya setelah prosesi ciuman itu selesai. Para tamu sudah bersorak heboh saat kegiatan kami tadi mungkin telah berhasil mereka rekam. Tetapi aku yang sedang berubah menjadi yupi tidak begitu peduli.

Dipikiranku saat ini adalah menutupi wajahku yang pasti sudah memerah karena malu. Oh, Tuhan. Aku melakukan ciuman di hadapan banyak orang! Bisa gila.

Kurasakan tangan Junggo mengusap kepalaku pelan dan perlahan menuruni punggung. Begitu terus sampai getar di tubuhku perlahan mereda. Dia tahu cara terbaik untuk menenangkanku. Aku juga mendapatkan kecupan ringan di atas kepalaku sebelum Junggo melepas pelukan kami, membuat jarak, membawa tubuh kami saling berhadapan lagi. Kedua tangannya melingkar di pinggangku, memeluk erat. Sementara matanya yang cantik itu menatap mataku tanpa beralih sama sekali.

Aku benar-benar gugup. Apalagi saat ini kami masih berada di atas altar dan disaksikan banyak pasang mata. Junggo tidak akan melakukan hal yang macam-macam, 'kan?

Pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu mendekatkan wajahnya lagi, langsung membuatku otomatis menutup mata. Lalu sebuah ciuman mendarat pada keningku, Junggo mengecup bagian itu lama. "Terima kasih, aku bahagia sekali, Kei." Lalu mencuri satu ciuman di bibirku. []

____

Happy wedding Jungra!! <3 omoo, akhirnya di universeku mereka menikah tanpa babibu, alias lancar dan dimudahkan :". Aku terharu banget nulisnya. Narasi di sini kebanyakan tentang Jungkook dalam pandanganku sendiri, huhu.

Wont expexting anything but thanks guys!

Dhe,
Nov 21, 2021

Roller Coaster ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang