Parade Senja

38 11 8
                                        

Kalimat Namjoon tempo hari berputar dalam mode berulang. Menjadikan endapan gusar pada diri Hae, hampa pada sorot karamelnya.

Jika diperbolehkan, Hae tidak ingin ada lagi rona jingga. Pengingat dari semesta untuk Namjoon undur dari dekapnya. Takut Namjoon tak lagi kembali, takut tak lagi ada aroma pinus di tiap pagi.

Namun, jingga yang mencumbu angkasa menjadi bagian kesukaan Namjoon, "Aku mencintai senja karenamu, Hae. Saat aku pulang akan ada sirat dalam iris kokoa itu, membuatku merindukan pagi kembali menyapa dengan kicau yang ia bawa."

Seperti sekarang, di pekarangan belakang rumah, sela-sela jari Hae terisi surai arang Namjoon, pemuda itu terlelap. Damai sekali pias rupawan Namjoon dibelai angin sore.

Hae suka saat jemarinya menjelajahi jengkal wajah Namjoon. Dahi sempit yang hanya dijatuhi beberapa anak rambut, hidung kecil tapi runcing, labium merah yang lihai membuat riuh debarnya, rahang kokoh penuh wibawa, dan sepasang lesung penyempurna.

Sesederhana itu Namjoon tercipta, namun kadar pesona dan kecerdasan, terlalu banyak dituangkan padanya.

"Bisa kau menginap?"

Namjoon mengerjap. Ia bisa melihat ada lapisan bening pada manik cokelat di atasnya. Hae menggigit bibirnya sendiri, menahan sesuatu yang begitu sesak dan memaksa untuk segera tumpah.

"Apa yang kau takutkan?" tanya Namjoon.

Usapan lembut membuat lapisan pada manik Hae menebal, bisa terjun kapan saja jika Namjoon melanjutkan kalimatnya.

Tahu tidak bagaimana rasanya dielu-elukan semesta? Disambut kilau jingga yang mengantar matahari berganti tugas dengan purnama, jika beruntung akan ada gemintang tersusun dalam rasi menakjubkan, atau hanya lembaran kanvas hitam tanpa titik-titik cahaya apa lagi sabit membingkai bentangan angkasa.

Sapuan lembut telapak hangat Namjoon pada pualam dengan semburat kemerahan Hae perlahan menjadi semu. Pemuda itu kini duduk menyilang, menikam dalam saat tatap mereka bertumbukan.

Oh, tidak.

Hae benci Namjoon saat kening mereka bersentuhan, dalam jarak millimeter Hae tenggelam dalam jelaga kelam milik Namjoon. Bukan lagi menyelam, Hae tenggelam dalam palung terdalam.

Sayup-sayu Namjoon berbisik, pelan sekali, "Tutup matamu, Hae."

Tidak, Joon.

Hae tidak suka itu.

"Tidak bisakah kau membawaku pulang? Sekali saja aku ingin purnama tahu, aku pun memiliki sabit, Joon."

Namjoon meniupkan angin lembut pada kelopak dengan lekuk bulu mata jenjang yang lantas mengatup, bibirnya turun sejajar daun telinga Hae,

"Tanpa kau beri tahu pun semesta tahu sabit itu selalu menjadi milikmu, semua yang ada padaku milikmu, Hae."

Bersama surya yang makin matang memerah, Namjoon lenyap dibawa pulang remang sisa-sisa cahaya.

⠀⠀⠀⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀⠀⠀

*:.。. .。.:*・゜゚

Delusi | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang