Part 16❄

57 6 3
                                    

Andhika berlari di koridor rumah sakit Media Cantika, sesekali melirik Raisa yang sudah tak sadarkan diri di gendongannya.

"Suster! Brankar!" teriak Andhika.

Dua pegawai rumah sakit datang membawa brankar kosong khusus darurat, setelah diletakkan, Andhika ikut mendorong brankar tersebut dan terus memperhatikan kondisi Raisa. Darah terus merambas mengitori gaun yang dipakai Raisa malam ini. Long Dress berwarna peach, kini telah berubah dengan adanya bercak darah di bagian perut gaun tersebut.

Andhika berhenti saat brankar Raisa dibawa masuk ke dalam ruang ICU. Ia memandang ke dalam dari celah kaca bulat yang ada di pintu.

Merasa ada yang menepuk bahu, Andhika menoleh mendapati Ankar yang berdiri di sana.

"Lo tenang dulu, Raisa udah ditangani dokter" ujar Ankar.

"Tenang lo bilang?!" Andhika murka.

"Disaat kita tahu kondisi Raisa dengan diambang kematian lo nyuruh gue tenang?!" bentak Andhika.

Tangannya sudah berada di kerah kemeja hitam Ankar, entah dimana jas yang tadi melekat di tubuhnya.

Ankar menyingkirkan tangan Andhika dan mendorongnya pelan.

"Lo harus tenang, sialan!. Kalau lo membuat kericuhan itu sama aja membuat masalah baru! Inget, men, ini rumah sakit!" desis Ankar.

Ia juga khawatir, takut dan sedih bercampur baur. Lalu muncul satu suster mendekati keduanya.

"Maaf, apakah kalian anggota keluarga pasien?" suster itu bertanya.

Belum sempat menjawab, satu suster lagi muncul dari bilik ruang ICU.

"Saudara Andhika, pasien meminta anda minta untuk ke dalam" ucapnya.

Dengan terburu, Andhika masuk ke dalam ruangan itu. Melihat Raisa yang tengah terkulai lemas di atas berangkar. Dokter mulai menyuntik bius agar saat menjahit luka-luka Raisa, gadis itu tidak terlalu merasakan sakit.

"Andhika" panggilnya lirih.

Tak kuasa menahan air matanya, Andhika menangis.

"Sakit" sambung Raisa.

Dada Andhika rasanya sesak sekali, ia menghirup kasar udara di sekitarnya dan menghembuskannya gusar.

"Lo kuat, Rai! Gue tau lo kuat. Lo pasti bisa lewatin ini, gue mohon bertahan, Raisa" ujar Andhika.

Suaranya serak, ia membungkuk untuk mencium kening Raisa, menggengam lengan Raisa yang dingin. Raisa mendongak lemah, menghapus air mata yang mengalir deras di pipi Andhika.

"Lo cowok, jangan cengeng! Gue bakal berjuang semampu gue, kalau gue gagal gue minta maaf" ucapan Raisa sangat lirih.

Setelahnya ia kembali tak sadarkan diri. Dokter berbisik singkat pada suster di samping kirinya, suster itu mengangguk dan mendekati Andhika.

"Maaf, mas. Silahkan kembali menunggu di luar" ucap Suster tersebut.

Andhika menoleh kembali pada Raisa, mengecup kening gadis itu lama, lalu ikut keluar dari ruangan. Suster tersebut kembali masuk dan membantu sang Dokter bila diperlukan.

Di luar, Andhika terduduk lemas di samping pintu masuk.

"Gue udah urus administrasinya, gue juga udah hubungin nyokap-bokapnya Raisa. Besok pagi mereka dateng" jujur Ankar.

Andhika hanya menoleh singkat dan kembali menunduk.

"Lo harus tegar, Andhika! Harusnya yang kita lakuin saat ini adalah mencari tau siapa datang di balik ini semua! Bukan nangis kayak gitu!" hardik Ankar.

Andhika terdiam sesaat. Ucapan Ankar memang benar, tidak seharusnya dirinya terduduk menangisi kondisi Raisa, harusnya ia mencari dan menemukan siapa pelaku aksi kejahatan ini.

Andhika berdiri dan menepuk bahu Ankar, "Gue titip Raisa bentar!" lalu ia berlari.

Ankar memandang Andhika yang sudah menjauh, sampai ia kembali tersadar oleh suara pintu yang tertutup.

"Pasien banyak sekali mengeluarkan darah dan stok darah di rumah sakit ini habis" terang sang dokter.

"Golongannya apa, dok?"

"O"

"Golongan darah saya O, ambil saja dokter"

"Baiklah, kita lakukan donor darah secepatnya"

Tbc

Komen-komen😌

Ice Girlfriends Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang