Bab 2

5 2 0
                                    

Arve dan Rima tiba di sebuah tempat sepi yang jarang sekali di kunjungi oleh orang-orang, ya mungkin hanya di hari-hari tertentu saja tempat ini ramai.

Mereka berjalan masuk tanpa bertanya lebih dulu pada penjaga disana, seolah tempat ini sudah biasa mereka kunjungi.

Rima berhenti di depan gundukan tanah yang berhiaskan rumput hijau dan 17 bunga tulip yang sudah layu. Di batu itu tertulis nama orang yang paling ia cintai. Bahkan rasa cintanya pada Arve tidak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan nama ini. Di sana hanya tinggal nama dan tulang belulang yang tersisa, tapi setiap kali kesini rasanya seperti baru kemarin orang itu pergi.

"Bu. Aku datang, Arve juga di sini." Ujar Rima sambil mengusap batu nisan itu dan tersenyum.

"Ah iya. Arve, bunganya." Titah Rima pada Arve.

Arve menyerahkan bunga tulip putih pada Rima. 17 bunga tulip putih, itu yang selalu Rima bawa saat mengunjungi makam ibunya. Kenapa 17? Dan kenapa harus tulip putih? Arve pun belum paham sampai sekarang. Bahkan setelah bersama Rima selama bertahun-tahun, ia tidak tahu apa-apa soal kehidupan gadis ini, terlalu banyak yang Arve tidak ketahui.

Bagaimana gadis ini saat sedang tidak bersamanya, apa yang ia suka, apa yang ia benci, apa yang ia takuti, apa yang bisa membuatnya sedih. Semuanya berhasil Rima tutup rapat-rapat, seolah hidupnya hanya miliknya sendiri dan tidak ada seorang pun yang boleh masuk kedalamnya.

Sebenarnya ada apa di dalam duniamu Rima? Bagaimana rasanya menyelami perasaanmu? Mengapa kamu begitu menginginkanku sedangkan aku tidak boleh mengetahui apa pun tentangmu? Dan bodohnya lagi, kenapa sulit sekali bagiku untuk jatuh hati pada gadis setangguh kamu? Padahal sudah bertahun-tahun kamu menemaniku, kenapa aku masih sulit memberikan sedikit celah untukmu?

Semua lamunan-lamunan itu sering kali berlalu-lalang di kepala Arve. Ia menjalani perannya saat ini hanya karena sebuah janji pada mendiang ibu Rima, padahal selama ini hanya itu yang ia jadikan landasan untuk selalu bersama Rima. Tapi kenapa rasanya, ia tidak bisa mencari alasan untuk meninggalkan Rima. Arve tahu keberadaannya hanya akan membuat patah hati Rima semakin menjadi-jadi, Arve tahu betul itu. Tapi hatinya selalu ragu tiap kali ingin mengucapkan kata pisah, kenapa? Apa tanpa ia sadari, Rima sudah menjadi bagian dari hidupnya? Atau lagi-lagi karena janji kepada ibu Rima yang belum sepenuhnya ia jalani?

"Ve," Panggil Rima sudah yang ke tiga kalinya namun tetap tidak ada jawaban.

Rima menepuk bahu Arve pelan, terlihat raut wajah Arve yang sedikit kaget karena tepukan tadi. Ah benar saja lagi-lagi Arve melamun, itu adalah salah satu kebiasaan Arve saat sedang bersama Rima. Entah apa yang ia pikirkan hingga tak menghiraukan Rima, Rima tidak mau tahu karena itu mungkin akan menyakitkan bila ia ketahui.

"Ayo pulang, aku sudah selesai." Ajak Rima yang sudah berdiri.

"Kamu duluan, ada yang mau aku bicarakan dengan ibumu."

Rima hanya mengangguk, lalu meninggalkan Arve bersama ibunya.

Setelah memastikan Rima sudah cukup jauh dari tempatnya, Arve memandangi batu nisan itu sebentar.

"Bu. Arve rindu sekali, aku yakin Rima pun begitu." Arve mengusap lembut batu nisan itu.

"Aku rindu sekali masakanmu. Bu, sebenarnya aku harus menjaga Rima dari siapa? Ini sudah tahun ke 5 aku bersamanya, tapi aku masih belum tahu apa-apa,"

"Apa putrimu sekeras kepala itu untuk menanggung semuanya sendirian? Aku harus bagaimana bu? Rima menginginkanku tapi aku tidak bisa memberikan apa yang ia mau, apa ibu akan marah? Aku sadar jika cincin ini pengikat kami berdua, tapi yang bisa kuberikan pada Rima hanya air mata bu. Aku tidak bisa memberinya bahagia, jika terus bersamaku Rima hanya akan tersiksa,"

"Dan kenapa berat sekali rasanya untuk melepaskan cincin ini? Apa karena janjiku? Atau karena hatiku?"

"Ibu yang paling tahu setakut apa aku saat kehilangan orang yang aku cintai. Aku tidak mau bu, aku tidak bisa mencintai Rima jika akan berujung kehilangan lagi."

"Putrimu baik, ia begitu lembut dan perhatian padaku. Aku yakin, siapa pun yang menjadi pendampingnya nanti pasti akan menjadi laki-laki paling bahagia di bumi. Karena aku pun bahagia saat sedang bersama Rima, aku selalu lupa soal rasa sakitku jika sudah mendengar semua keluhannya, aku selalu tertawa hanya dengan melihat hentakan kakinya saat kesal dan hal-hal konyol lainnya yang ia lakukan. Bu, aku tidak bisa mencintai putrimu walau pun aku ingin. Putrimu terlalu sempurna untuk di cintai pria sepertiku."

Arve menunduk dalam, ia tahu wanita ini akan sedih mendengar ucapannya sekarang. Bagaimana tidak? Laki-laki yang begitu di cintai oleh putrinya, justru terang-terangan menjelaskan kalau ia tidak bisa membalas perasaannya. Bukan, bukan tidak bisa. Ia hanya takut kejadian yang sama terulang lagi, ia terlalu pengecut untuk merasakan rasa sakit yang sama lagi dan ia terlalu takut memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang padahal belum tentu akan terjadi nantinya.

Ia melihat kearah jam di pergelangan tangannya, sudah 15 menit lebih ia disini.

"Ah sudah terlalu lama, Rima pasti marah karena menunggu sendirian. Aku pulang bu." Pamit Arve setelah kalimat panjang yang ia lontarkan.

Arve berjalan keluar pemakan. Di sana, Rima sudah bersedekap dada dengan wajah cemberutnya. Dari jauh saja sudah kelihatan sekali kalau ia marah.

Lihat kan bu? Rima marah, karena kubiarkan sendirian terlalu lama. Batin Arve sambil terkekeh pelan.

Apa Rima juga akan marah jika kutinggal pergi untuk waktu yang lama?

"Marah nyonya?" Bisik Arve tepat di telinga Rima.

Rima menatap Arve sinis "Lama! Bicara apa sih? Kamu sudah setuju jadi suamiku? Izin dengan ibu soal itu?" Tanya Rima asal.

Arve menoyor kening Rima pelan sambil terkekeh "Mana ada yang seperti itu, ayo pulang." Ucapnya sambil memakaikan helm di kepala Rima.

Rima mendengus kesal, kenapa sih tidak bisa buat orang lain senang? Bilang iya kek sekali-sekali.

"Ada. Kamu saja yang tidak mau."

"Aku kan sudah pernah bilang, Rima. Untuk mencintaimu saja aku tidak bisa, apa lagi sampai jadi suamimu? Kebayang deh akan semenderita apa kamu nanti karena selalu menangis setiap hari." Arve terkekeh pelan tanpa peduli jika ucapan itu menyakiti Rima.

"Kenapa kamu selalu bisa sejujur itu denganku?" Tanya Rima pelan.

"Aku tidak mau memberi harapan apa-apa, Rima. Jadi kukatakan apa yang memang ingin kuutarakan."

"Walau pun kamu tahu itu menyakitiku?" Tanya Rima sambil menatap manik mata Arve lekat.

Arve diam sebentar, lagi-lagi mata itu.

"Ya. meski pun itu menyakitimu, karena aku tidak mau memberimu angan semu."

Tapi kejujuranmu selalu berhasil mematahkan hatiku berkali-kali, Arve.

Blue OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang