"Apa kamu marah?" Tanya Arve sambil menengok kearah spion motornya.
"Pertanyaanmu salah." Jawab Rima pelan.
Arve mengernyit bingung. Bukan kah gadis itu tadi marah padanya? Sekarang ia justru bilang pertanyaannya salah? Ah ternyata berurusan dengan wanita bisa membuatnya sepusing ini.
"Lalu?" Arve kembali bertanya.
"Yang harusnya kamu tanyakan itu, apa kah ada hal yang bisa membuatku benar-benar marah padamu. Begitu, Arve." Jelas Rima sambil menepuk bahu Arve.
Arve lagi-lagi di buat bungkam dengan jawaban yang keluar dari mulut gadis ajaib yang sedang ia bonceng saat ini. Mengapa bisa gadis sebaik ini jatuh hati pada lelaki seperti nya? Bagaimana caranya untuk menyelamatkan hati gadis ini?
"Sebesar itu kah kamu mencintaiku?" Tanya Arve.
"Ya. Sebesar itu, tapi kamu tidak mau menerimanya."
"Aku kan cuma butuh jawaban iya atau tidak, Rima. Tidak perlu dengan alasannya."
"Kenapa tidak perlu? Merasa bersalah karena tidak bisa membalasa perasaanku?" Rima menempelkan keningnya di punggung Arve.
Hati Arve terenyuh mendengar perkataan Rima, harus kah ia terus begini? Menyakiti perasaan gadis tidak bersalah ini dengan sikap masa bodonya. Jujur, hatinya pun ikut sakit tiap kali mendengar Rima menangis karena ulahnya. Tapi lagi-lagi itu semua ia lakukan demi menjauhkan Rima dari nya, dan sekuat apa pun Arve mencoba mengusir Rima dari hidupnya maka sekiat itu pula Rima bertahan dengan keteguhan hatinya.
"Ah ternyata kamu paham." Jawab Arve.
Di balik punggung Arve, Rima sudah mendengus kesal berkali-kali. Kenapa laki-laki ini benar-benar menyebalkan!
"Kenapa kamu selalu bisa menjawab pertanyaanku?" Sinis Rima.
"Karena, wanita selalu ingin semua pertanyaannya mendapat jawaban bukan?"
"Ah aku selalu kalah jika sudah berdebat denganmu!" Rima menepuk bahu Arve cukup keras kali ini.
"Jangan kencang-kencang, Rima. Nanti kalau aku sakit, siapa yang menjagamu?" Ucap Arve sambil terkekeh pelan.
"Tadi menyebalkan, sekarang malah membual. Apa-apan sih kamu ini."
"Itu bukan bualan, itu janjiku pada ibu."
"Terserah!" Kesal Rima sambil mengarahkan pandangannya ke arah jalan raya yang cukup ramai.
Tidak ada percakapan apa pun setelah itu, masing-masing dari mereka memilih berkutat dengan pikirannya. Hingga mereka sampai di sebuah rumah besar yang terlihat seperti tak berpenghuni itu. Cat putih mendominasi warna rumah megah dengan pernak pernik cantik di dalamnya. Tapi sayang, rumah ini sudah lama kehilangan nyawanya.
"Sudah sampai, Nyonya." Ucap Arve.
Rima turun dari motor Arve dengan raut wajah yang nampak masih kesal.
"Boleh aku mampir?" Tanya Arve.
Mendadak wajah Rima berubah cerah seperti sedang mendapat semangkuk besar salad buah kesukaannya. Rima tanpa pikir panjang langsung mengangguk.
"Bukan kah kamu sedang kesal denganku?" Goda Arve.
Rima menggeleng kuat "Mana ada! Kamu tidak lihat wajahku senang begini?" Ujar Rima.
Arve langsung mengacak-acak pucuk kepala Rima saking gemasnya.
"Ayo masuk." Ajak Rima.
Ruangan megah bernuansa abu-abu langsung menyambut indra pengelihatan mereka, di tambah pula aksen mewah menambah kesan megah dari rumah itu. Mereka langsung di sambut hangat oleh asisten rumah tangga di sana.
"Sudah pulang mba? Eh, mas Arve tumben mampir." Ujar bu Minah saat menyadari Rima tidak pulang sendiri.
"Iya bu. Tadi ada yang sedang marah, jadi saya mampir untuk membujuknya. Tapi ternyata langsung luluh." Goda Arve sambil melirik Rima.
"Siapa yang marah sih!" Ujar Rima dengan tatapan sinisnya
"Kenapa menatapku begitu? Memang aku menyinggungmu?" Ucap Arve sambil tertawa pelan.
"Menurutmu?" Rima menatap Arve tajam.
"Cepat bersihkan tubuhmu dan ganti baju, kamu bau." Titah Arve.
"Enak saja!"
Setelah mengucapkan itu, Rima langsung melangkah pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri.
"Mau minum apa mas?" Tanya bu Minah.
"Tidak usah bu, biar Rima yang mengambilkan minum untukku nanti." Ujar Arve lalu pergi menuju ruang tamu.
Arve menatap foto besar yang terpajang di tengah-tengah ruangan, di sana terlihat jelas raut wajah bahagia seorang gadis kecil yang diapit oleh ibu dan ayahnya. Sorot mata gadis itu jauh berbeda dengan sorot mata yang biasa ia lihat sekarang, cahanya seolah redup seiring bertambahnya waktu. Hanya di foto itu Arve bisa melihat raut wajah Rima yang benar-benar bahagia, karena wajah bahagia yang Rima tunjukan selama ini hanya sebuah topeng tipis yang mampu Arve lihat celahnya. Rima tidak sebahagia itu semenjak ibunya pergi, Rima tidak seceria itu setelah kesunyian selalu menyapa hari-harinya dan ia pun tahu Rima tidak setegar itu untuk terus-terusan bertahan sendirian. Apa ia salah? Semua itu hanya perkiraan, karena hanya itu yang bisa ia terka.
Di sebelah gadis cantik dengan senyum bahagianya itu juga ada wanita paruh baya yang tak kalah cantiknya. Dua perempuan itu, dua perempuan yang sangat berharga baginya, yang ia kira akan selalu menemaninya. Tapi takdir justru berkata lain, wanita pertama yang mau mengakui keberadaannya sebagai manusia itu pergi untuk selama lamanya. Dan itu menjadi kali keduanya kehilangan wanita yang paling ia cintai di bumi, hal itu pula yang membuat Arve takut kehilangan lagi, takut untuk mencintai lagi, apa lagi jika orang itu adalah Rima. Ia tidak bisa membayangkan akan seterpuruk apa nantinya jika Rima harus pergi juga dari hidupnya, mungkin pemikirannya berlebihan tapi itu lah isi kepalanya tiap kali hatinya ingin membuka sedikit celah untuk Rima.
Cukup lama Arve melamun di depan foto besar itu hingga ia tidak sadar jika Rima sudah duduk manis di sofa. Rima tidak heran dengan perilaku Arve, karena itu kebiasaan Arve saat bertamu kerumahnya. Selalu memandangi foto keluarga sampai matanya lelah sendiri, padahal foto itu justru selalu berhasil membuat hati Rima mendadak nyeri. Tiap kali melihat foto itu rasanya seperti sebuah potongan kenangan-kenangan masa lalu tayang di dalam kepalanya, kenangan yang berujung rasa sakit karena lagi-lagi ia jadi ingat betul bagaimana hari terakhir ibunya.
"Secantik itu kah ibuku?" Ujar Rima dari belakang sana.
Arve langsung sadar dari lamunannya saat itu juga.
"Iya cantik sekali. Mungkin kalau aku lahir lebih dulu dari ayahmu, aku yang akan menikahi ibumu waktu itu." Gurau Arve.
"Berarti kamu tidak akan bisa bertemu denganku." Ujar Rima.
Arve menghampiri Rima lalu duduk di sebelahnya.
"Aku akan tetap bertemu denganmu, sebagai anakku." Arve terkekeh pelan.
"Aku tidak mau jadi anakmu. Aku jadi tidak bisa mencintaimu kalau begitu." Rima menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Justru itu, Rima. Aku ingin jadi ayahmu supaya bisa menjagamu tanpa melibatkan sakit hati dan perasaan, itu akan menjadi lebih mudah untuk kita berdua kan?" Tanya Arve di akhir ucapannya.
Rima diam, ia meresapi ucapan Arve. Ia tahu perasaannya tidak mungkin terbalaskan tapi ia tetap belum terbiasa dengan kata-kata Arve yang seolah memintanya untuk keluar dari hidupnya, Karena itu tidak akan mudah bagi Rima.
"Memang sekarang terasa berat untukmu?" Tanya Rima.
Arve menggeleng pelan "Bukan begitu, Rima. Takdirnya kan aku lahir tidak lebih dulu dari ayahmu, jadi ya sekarang tugasku menjagamu sesuai janjiku." Jawab Arve lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Ocean
Teen FictionKamu terlalu tenang seperti lautan dan terlalu sepi seperti langit biru tanpa hamparan apa-apa. Hingga aku sadar, bahwa tenangmu bisa membawa bencana bagiku, sepimu bisa mendatangkan luka baru untukku. Aku juga sadar, lautan terlalu luas untukku jel...