"Bisa tolong ambilkan aku minum?" Tanya Arve.
Rima langsung berjalan kearah dapur untuk mengambil segelas susu strawberry kesukaan Arve.
"Segelas cukup?" Tanya Rima sambil menyerahkan segelas susu tadi.
"Mungkin kurang, kalau kamu yang ambilkan rasanya jauh lebih manis." Goda Arve seraya menaik turunkan alisnya.
"Sama saja, ucapanmu yang terlalu manis. Coba kalau gadis biasa yang mendengar nya pasti sudah langsung keringat dingin mendengar itu." Rima memutar bola matanya malas.
"Oh, memangnya kamu biasa saja kalau aku bicara begitu?"
"Aku bahkan sudah biasa dengan sikap masa bodomu, bagaimana mungkin aku tidak biasa dengan ucapan manis andalanmu itu."
Arve hanya terkekeh dengan jawaban gadis di depannya itu, ia menenpuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya agar Rima duduk di sana.
"Jangan berdiri terus, pasti lelah kan seharian sudah kubuat kesal?" Arve lagi-lagi terkekeh.
Rima mengehentakan kakinya pelan lalu berjalan ke arah Arve untuk duduk di sebelahnya.
"Apa aku sudah boleh pulang?" Tanya Arve pelan.
Rima menatap Arve sinis. Arve sendiri yang ingin mampir kerumahnya lalu kenapa sekarang harus bertele-tele minta izin untuk pulang? Bukan kah biasanya ia akan langsung pulang tanpa basa basi seperti ini? Aneh, pikir Rima.
"Terserah." Jawab Rima seadanya.
"Ah sepertinya aku masih harus di sini sedikit lebih lama." Ujar Arve sambil manggut-manggut pelan.
"Kenapa? Pulang saja." Ujar Rima sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
"Soalnya Nyonya rumah ini masih kesal padaku." Arve kembali meneguk susu starberry miliknya.
"Kesal itu pasti, lagi pula siapa lagi orang yang akan tahan dengan sikapmu selain aku?" Balas Rima percaya diri.
Ya, kenyataan bahwa yang di ucapkan Rima adalah sebuah kebenaran memang tidak bisa di bantah oleh argumen siapa pun termasuk Arve sendiri. Saat ini dan entah sampai kapan meski Arve berharap bahwa hanya Rima lah satu-satunya gadis yang bisa tahan dengannya, dengan semua ketakutan-ketakutan yang terus mengahantuinya.
"Iya, kamu benar."
"Makan malam di sini ya? Mau kan?" Tanya Rima dengan wajah memelasnya.
Arve terkekeh pelan melihat itu.
"Siapa yang bisa menolak permintaanmu setelah melihat wajah melasmu itu?" Balas Arve sambil mengusap-usap lembut kepala Rima.
"Mau makan apa? Biar aku yang masak."
"Kamu masak? Apa dapur dan perutku akan baik-baik saja nanti?" Goda Arve.
"Apa-apaan jawabanmu itu? Masakanku tidak akan sampai membuatmu masuk rumah sakit tahu!" Rima mencubit lengan Arve saking kesalnya.
"Cubitanmu tidak pernah berubah ya. Kamu itu menyakitiku tapi tidak pernah terasa sakit bagiku." Arve terkekeh pelan.
"Ya karena aku bukan kamu yang tahu betul cara menyakitiku, aku mana tega menyakitimu."
"Lihat kan? Kamu terlalu baik untuk lelaki yang masih terjebak dengan masa lalu sepertiku. Apa tidak ada niat untuk menjelajahi hati lain, Rima? Setidaknya dengan lelaki lain kamu tidak akan sesakit seperti saat bersamaku." Jelas Arve sambil menatap lekat manik mata hazel di hadapannya.
"Bukan kah aku mengajakmu makan malam? Kenapa jadi bahas ini? Kenapa seolah setiap hari ada saja caramu untuk memintaku berhenti menjelajahi hatimu?" Rima balik menatap Arve.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Ocean
Teen FictionKamu terlalu tenang seperti lautan dan terlalu sepi seperti langit biru tanpa hamparan apa-apa. Hingga aku sadar, bahwa tenangmu bisa membawa bencana bagiku, sepimu bisa mendatangkan luka baru untukku. Aku juga sadar, lautan terlalu luas untukku jel...