Bab 5

4 2 0
                                    

"Mau tambah?" Tanya Rima.

Arve menggeleng pelan.

"Ya sudah, aku bereskan ini dulu."

Rima membereskan meja makan yang tadi penuh dengan makanan. Dengan telaten ia mencuci piring kotor yang cukup banyak itu, Arve memperhatikan setiap gerak gerik Rima. Tangannya lihai jika dalam hal beres-beres rumah.

Setelah selesai mencuci piring, Rima langsung menghampiri Arve yang masih duduk manis di tempatnya.

"Sudah bisa pulang?" Tanya Arve begitu Rima sampai di hadapannya.

Rima mengangguk pelan.

"Apa masih ada sisa makanan?" Arve kembali bertanya.

"Untuk apa?" Kini giliran Rima yang bertanya.

"Untuk aku bawa pulang, Rima."

"Tadi bukannya kamu takut dengan masakanku?" Cibir Rima.

"Ya kamu kan tadi masaknya dengan bu Minah, jadi kupikir tidak masalah." Balas Arve santai.

Rima langsung mencubit lengan Arve saat mendengar balasannya tadi, kenapa menjengkelkan sekali mendengar Arve bicara begitu. Dari dulu tidak pernah berubah, selalu suka mengejek masakan Rima.

"Kenapa wajahmu kesal begitu." Arve terkekeh pelan.

"Memang begini wajahku." Ujar Rima sambil menghentakkan kakinya kelantai.

"Jangan marah lagi denganku, kalau kamu masih marah aku jadi harus menginap di sini agar marahmu hilang." Bisik Arve pelan.

Rima hanya mendengus kesal mendengar godaan Arve tadi, memang cocok sekali jadi lelaki yang suka main wanita. Wajar saja jika banyak wanita tergila-gila padanya.

"Ya sudah, aku pulang ya." Pamit Arve.

Rima mengangguk lalu mengantar Arve sampai ke depan pintu besar yang siang tadi menyambut kedatangan mereka.

Terlihat bulan sudah menjulang tinggi dengan beberapa bintang di sekelilingnya. Rima menatap bulan itu nanar, bahkan bulan pun memiliki keluarga kecil walau sering kali tertutup awan malam.

"Lihat apa?" Tanya Arve sambil mengikuti arah pandang mata Rima.

"Langitnya cerah malam ini," Senyum manis tercetak di bibir mungil Rima.

"Tentu saja, karena ada aku." Sahut Arve dengan tampang percaya dirinya.

Rima hanya berdecih pelan mendengar itu.

"Tidak perlu iri dengan bulan, Rima. Kamu jauh lebih bahagia darinya." Arve memandang bulan itu lekat.

"Tapi jadi bulan menyenangkan, Arve. Aku tidak perlu repot-repot kuliah, aku tidak perlu berhadapan dengan kenyataan dunia, aku tidak perlu sakit hati karena kehilangan ibuku dan..." Rima menggantungkan kalimatnya.

"Dan?" Tanya Arve beralih menatap Rima.

"Dan aku tidak perlu lelah karena terlalu mencintaimu." Jelas Rima.

Arve diam sebentar lalu tersenyum manis kearah Rima.

"Bukan kah dari awal kamu sudah tahu resiko menjadi manusia? Bahagia karena keinginannya terwujud dan sedih jika kenyataan menghancurkan segala ekspektasinya." Ujar Arve lembut.

"Ya, aku tahu. Dan aku salah satu manusia yang paling menyukai tantangan, termasuk sakit hati karena mencintaimu." Balas Rima.

Arve terkekeh pelan, ia mengusap lembut pucuk kepala Rima.

"Iya, Rima. Kamu memang manusia paling berani yang pernahku kenal tapi, berani menaruh hatimu hari ini untuk di hancurkan besok apa itu termasuk berani atau bodoh?" Tanya Arve.

"Aku pintar! Tidak ingat siapa yang membantumu mengerjakan tugas biologi saat SMA?" Sinis Rima.

"Aku kan mau jadi penulis, Rima. Bukan menjadi dokter sepertimu sekarang ini." Elak Arve.

"Aku belum tamat kuliah, belum bisa di sebut dokter."

"Sudah terlalu malam, aku pulang sekarang ya bu dokter?" Goda Arve sambil menaik turunkan kedua alisnya.

"Iya sana pulang!" Ketus Rima.

"Selamat malam, semoga tidurmu nyenyak karena hari esok pasti akan banyak kejutan." Ucap Arve lalu melesat pergi dengan motor kesayangannya.

"Ya, kejutan yang sudah bisa kutebak seberapa menyakitkannya." Gumam Rima yang masih menatap jalanan di depannya.

°°°

Arve sampai di rumahnya, tidak butuh waktu lama untuk ia mengendarai motor karena kondisi jalanan yang cukup sepi.

"Dari mana, Ve?" Suara berat seorang lelaki paruh baya terdengar dari arah ruang tamu.

"Habis dari rumah tuan putri." Jawab Arve.

"Bagaimana kabar Rima?" Tanya lelaki itu.

"Sehat, dan masih tetap mencintaiku."

"Dan kamu masih tetap menutup hatimu?" Lelaki itu menatap putra satu-satunya lekat.

"Ayah, ini sudah malam sebaiknya ayah tidur." Arve pergi kekamarnya sesaat setelah ia mengucapkan itu.

Revan yang menyandang gelar sebagai ayah Arve itu pun langsung menggeleng heran dengan sikap putranya, bertahun-tahun bersama Rima ternyata belum cukup membuatnya lepas dari belenggu masa lalu tentang kehilangan wanita yang ia sayangi. Ternyata sebesar itu pengaruh masa lalu pada kehidupan Arve, ini salahnya. Arve yang menutup hati tentang perempuan adalah buah dari kesalahannya di masa lalu.

Arve melempar tasnya ke sembarang tempat, hari ini terlalu melelahkan sekaligus menyenangkan untuknya. Ia sampai lupa mengontrol diri untuk tidak jatuh pada Rima, ini juga sebuah pengorbanan bagi Arve. Berusaha agar tidak terjebak dengan kata cinta ternyata sesulit itu.

Rima benar-benar wanita yang sempurna di matanya, wanita dengan karakter yang sangat ia ingin miliki dan jaga sekali lagi. Ya, karena ia pernah gagal menjaga wanita yang seperti itu di masa lalunya, dan Rima seolah seperti caranya untuk menebus dosa. Hatinya belum benar-benar mati, sungguh. Jika Rima, rasanya selalu ada celah kecil yang memaksanya untuk mebukakan jalan lebar-lebar untuk Rima.

Arve mengambil sebuah buku dengan sampul coklat dan kertas berwarna hitam, yang kelihatannya sudah cukup lama. Ia menuliskan seberapa banyak Rima hampir berhasil mendobrak hatinya hari ini, juga bagaimana caranya untuk lagi-lagi menahan perasaan itu agar tidak menggebu-gebu. Agar tidak menyakiti atau pun tersakiti lagi nantinya.

Untukmu, tulisan ini masih saja tentang kamu. Sudah berapa tahun kita bersama? Sudah berapa ribu kali kucoba membunuh perasaan yang sebenarnya tidak berdosa? Sudah lelah 'kah kamu denganku? Sudah muak 'kah kamu dengan setiap penolakanku? Aku ingin bersamamu, sungguh. Tapi aku lebih tidak ingin kehilanganmu, itu lah kenapa perasaan ini harus kubuang jauh-jauh. Maaf karena mencintaiku hanya mendatangkan luka untukmu, maaf karena bersamaku hanya membuat lelah batinmu.

Aku ingin sekali memelukmu, tapi lagi-lagi harus kutahan perasaan itu. Karena aku tahu, semakin aku menuruti keinginan hati semakin sulit pula aku membangun benteng hatiku di esok hari. Aku selalu berdoa agar Tuhan cepat-cepat mendatangkan pria baik di hidupmu, agar tidak ada lagi perasaan ingin memiliki. Tapi entah kenapa, tiap kali membayangkan kamu bersama dengan pria lain membuat hatiku bergemuruh riuh seolah ingin meledak saat itu juga.

Hei, bisa 'kah kamu memberiku ruang agar tidak jatuh padamu? Kamu terlalu menyenangkan untuk tidak aku cintai, dan ini terlalu sulit untuk aku abaikan.

Hei, bisa 'kah kamu selalu di sampingku? Aku tahu ini terdengar egois karena aku bahkan tidak bisa memberikan perasaanku padamu tapi, aku membutuhkanmu.

Dariku, sibodoh yang takut mencintaimu.

Blue OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang