"Apa kau baik-baik saja?" Tanyaku panik.
"Bagaimana kelihatannya?" Balas Five sinis, seperti biasanya.
"Jangan memberiku tatapan itu! Kau yang menyusup ke rumahku!"
Kali ini Five tidak membalas perkataanku. Hal ini tentu saja membuatku bertanya-tanya.
"Dimana yang lainnya?"
"Hanya ada aku sekarang." Jawab Five singkat.
"Aku tidak mengerti." Kataku bingung.
"Aku ingin menagih balas budimu."
Aku memutar mataku. "Tentu saja. Apa yang kau mau?"
"Biarkan aku tinggal disini untuk sementara."
Aku menoleh dan menatap Five tidak percaya. Apa dia serius?
Aku bahkan harus meneliti wajahnya untuk memastikan bahwa dia tidak bercanda.
Tapi setelah kupikir pikir lagi, aku hampir tidak pernah melihat Five bercanda.
Sekalipun.
Bahkan tertawa.
Apalagi tersenyum.
Five adalah orang yang serius. Jadi aku yakin perkataannya tidak main-main.
Banyak sekali pertanyaan yang muncul di dalam benakku sekarang. Tapi aku yakin, Five tidak akan mau menjawab pertanyaanku. Dan menanyakan sesuatu saja pasti sudah membuatnya marah.
Jadi aku memilih untuk diam.
"Oke." Balasku singkat.
Five menghela nafas. "Apa yang ingin kau tanyakan?"
Aku melotot.
"Ayolah. Kau pikir aku tidak bisa membaca raut wajahmu yang bodoh itu?"
"Aku tidak bodoh. Berhenti mengatakan hal itu. Kalau kau memang tidak mau kutanyai, bilang saja tidak mau. Tidak usah menghinaku."
"Aku tidak mau kau tanyai. Tapi wajah penasaranmu itu menggangguku."
"Lalu apa yang kau mau? Apa aku harus menutupi wajahku sepanjang hari?"
"Ya, kalau bisa."
Darahku mendidih. Ini belum satu hari, tapi aku sudah tidak tahan dengan Five. Bagaimana kalau kita harus tinggal bersama dalam waktu yang lama?!
Woosh!
Five membuka kulkas. "Kau tidak punya makanan?"
"Biasanya aku memasak." Jawabku singkat.
"Lalu kenapa kau tidak masak?"
"Memangnya apa urusannya denganmu?" Jawabku lagi.
Five tidak menjawab.
Akhirnya dia diam juga!
Aku meraih buku di atas meja kopi, kemudian duduk di atas sofa untuk membacanya.
Krucuk!
Aku mengangkat kepalaku. "Suara apa itu?"
"...aku lapar" Kata Five lirih.
"Ya sudah, masak saja." Balasku.
Five masih diam.
Aku menghela nafas, menghampiri Five, mengambil bahan-bahan yang pertama kali kulihat, dan membawanya ke bar dapur.
Woosh!
Five duduk di atas sofa, menggantikan keberadaanku yang sebelumnya.
Alisku terpaut. "Kau pikir aku pembantumu? Kau harus bantu aku!"
"Anggap saja itu masuk ke dalam perjanjian kita."
"Tidak. Kalau kau tidak mau bantu, tidak ada makanan." Kataku kukuh.
Five menghela nafasnya.
Woosh!
"Apa yang perlu kubantu?"
...
"Bagaimana? Apa kau suka dengan lasagna nya?" Tanyaku setelah kami selesai makan malam.
"Tidak tau. Aku lapar, jadi aku cepat-cepat memasukkan semuanya ke dalam perutku." Jawabnya sembari berjalan ke arah sofa.
Aku menghiraukan omongan Five. "Pernah coba wine?"
"Tentu saja pernah. Usiaku 55 tahun."
Aku menatap Five bingung.
"Itu cerita yang panjang." Balasnya.
Aku menuangkan isi dari botol wine ke dalam dua gelas, kemudian menyodorkan salah satunya kepada Five.
Aku kira, malam itu akan habis dengan keheningan diantara kami berdua.
Tapi, setelah Five menghabiskan beberapa gelas wine dan mulai mabuk, aku tahu kalau sesuatu akan terjadi.
Aku memang tidak pernah melihat Five tersenyum atau tertawa.
Tapi malam itu, aku melihat Five menangis untuk pertama kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Come Back (Five Hargreeves Fanfiction)
Fiksi Penggemar• Written in Bahasa •