Part 1

11.7K 243 13
                                    

“Ji, cewek gue ngambek lagi.” Kalimat singkat yang dilontarkan Ari begitu masuk ke kelas mengalihkan perhatian Oji yang sedari tadi sibuk menyalin PR Matematika milik Deva ke bukunya. Cowok itu meletakkan pensil, kemudian berdiri. “Siap, Bos! Berangkat!”

Keduanya berjalan keluar kelas dan langsung menyeret Ridho yang baru akan mencapai ambang pintu.

“Ikut,” perintah Ari tanpa penjelasan lebih lanjut, yang sudah lebih dari cukup untuk membuat Ridho mengikuti langkah lebar kedua sahabatnya. Sangat tahu kemana tujuan mereka. Kelas sepuluh sembilan.

“Ada masalah apa lagi, nih?” tanya Ridho ketika ketiganya menuruni anak-anak tangga.

“Gue cium dia kemaren,” jawab Ari santai tanpa menoleh, sehingga tak melihat dua pasang mata milik Oji dan Ridho yang kontan membelalak lebar.

“Cium pipi?” tanya Ridho lagi, terdengar ragu, karena sepertinya dia sudah bisa menebak jawaban dari pertanyaannya sendiri.

“Nggak, lah.” Ari mengetuk-ngetuk sepasang bibirnya yang mengembangkan seulas senyum lebar menggunakan jari telunjuk. Jelas saja Ridho dan Oji melotot lagi.

“Keterlaluan kalo itu, Bos. Pantes aja dia marah!” seru Oji sambil memukul kepala Ari, sementara itu Ridho menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.

Ari malah terkekeh geli. “Dia cerewet banget kemaren. Jadi gue suruh diem. Dan kalian tahu sendiri gue paling nggak suka bikin dia bungkam pake kata-kata.”

Oh ya. Tentu saja. Seperti yang diketahui semua orang, Ari lebih suka bertindak langsung daripada berdebat, yang sering kali tindakannya itu bisa dikategorikan nekat dan berani. Mencium seseorang bernama Tari seharusnya bukan sesuatu yang mengagetkan bagi Ridho dan Oji. Apalagi kalau mengingat kelakuan-kelakuan Ari terhadap Tari di masa-masa awal keduanya bertemu. Tidak mengherankan dan sudah bisa diprediksi oleh otak setiap orang, bahwa Ari mendaratkan ciuman untuk Tari, bukan sekadar di pipi, pasti memang akan terjadi, cepat atau lambat.

No comment,” ucap Ridho dengan wajah datar, dan lagi-lagi Ari terkekeh dibuatnya. Kini cowok itu tengah memikirkan bagaimana reaksi Tari begitu melihat wajahnya nanti. Tanpa sadar, Ari mengusap pipi kirinya yang menjadi tempat pendaratan telapak tangan Tari semalam. Cukup keras juga Tari menamparnya, tapi memang tak berpengaruh apapun untuk Ari selain menimbulkan sekelebat rasa kaget. Itu pun hanya sebentar. Sampai sekarang, masih terekam jelas dalam ingatannya bagaimana marahnya wajah Tari sesaat setelah ia cium. Wajah itulah yang membuatnya dihantui perasaan bersalah dan gelisah semalaman karena Tari tak menjawab satupun panggilannya.

Oji, yang berjalan di sebelah kiri Ari, menoleh heran. “Kenapa?”

“Kena gampar.”

“Pantes.” Oji manggut-manggut.

“Untung cuma kena gampar tangan dia. Coba kalo kena gampar emak-bapaknya. Mau ngomong apa lo?” Ridho menimpali, yang hanya dijawab seringaian oleh Ari.

Kelas X-9 masih setengah kosong saat Ari melangkah masuk dan melemparkan tatapannya ke penjuru kelas. “Tari mana?” tanyanya kepada penghuni kelas tersebut yang semuanya kompak mengunci mulut begitu dia muncul tadi, tanpa bersusah payah menjelaskan Tari yang mana yang dia cari meski di dunia ini ada jutaan orang bernama Tari.

“Belom dateng, Kak,” jawab Nyoman yang posisinya paling dekat dengannya.

Ari mengangguk-angguk, memutuskan untuk menunggu gadis itu datang dengan bercokol di bangku panjang yang ada di luar kelas Tari, membuat semua anak yang lewat di koridor itu membungkukkan badan rendah-rendah dengan kesopanan luar biasa ketika melintas di hadapan orang yang paling ditakuti di SMA Airlangga, apalagi orang itu duduk bersama kedua sahabatnya yang juga sama-sama ditakuti.

Jingga untuk Matahari #fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang