03

85 21 16
                                    

MÉLODIE

🎶

Alih-alih memainkan pianonya, Kai tengah membaca buku partitur ketika Nami mengunjunginya. Pemuda itu tampak serius, kepalanya mengangguk sesekali menekan tuts piano sampai tak sadar kalau Nami sudah berada di belakangnya, memperhatikan kegiatannya.


Diam-diam Nami mengulas senyum tipis, dengan usil Nami menekan salah satu tuts hingga memecah fokus Kai.

Pemuda itu sontak saja terkejut karena wajah Nami menatapnya lekat, dalam jarak yang terlampau dekat. Gadis yang telah menjadi temannya selama empat belas hari itu kini bersikap lebih bersahabat dan sedikit jahil.

"Tidak memainkan piano?" tanya Nami, terkikik saat Kai buru-buru melepas earphone, memberi jarak diantara wajahnya dan Nami.

"M-mungkin nanti ... aku sedang mengerjakan sesuatu. Bagaimana harimu?" Kai mengusap tengkuknya canggung, ekspresi wajahnya yang sedikit malu-malu membuat Nami terkikik geli.

Satu hal yang paling Nami sukai dari Kai adalah, pemuda itu selalu tahu ia akan datang. Oleh sebab itu, sejak pertemuan pertama, Kai selalu menyiapkan kursi lain di sisinya, jadi saat Nami singgah, gadis itu langsung menempatinya.

Meski kali ini Kai tidak memainkan piano, Nami tidak keberatan. Berada bersama Kai dalam keadaan apapun bukan hal buruk. Ia bahkan menikmati waktu bersama Kai, entah dalam ruang musik atau tidak sekalipun.

"Sepertinya cukup buruk. Tapi sejak datang kesini mood-ku langsung membaik!"

Nami bicara jujur. Pagi tadi ia langsung pergi ke sekolah tanpa sarapan sampai kelaparan di kelas. Tugas yang diberikan juga cukup banyak, meski demikian Nami tidak ingin terlambat mengumpulkan tugas. Jadi gadis itu memilih mengerjakannya dan melewatkan makan siang. Terlebih ini adalah hari ketiga Nami kedatangan tamu, emosinya kacau dan rasanya Nami ingin menangis.

Ini bukan pertama kalinya Nami mendapat kesialan kecil yang mengusik emosi dan pikirannya. Namun setiap kali ia melihat presensi di dalam sana, entah mengapa Nami merasa emosinya perlahan membaik.

Kai menyodorkan salah satu earphonenya pada Nami, menyetel musik klasik dari youtube. Selama menjumpai pemuda itu, Nami juga mendapat kelas musik tambahan. Kai kerap menjelaskan lantunan musik yang ia mainkan, berbagai makna di dalamnya dan juga fakta fakta sang komponis. Selain mendengarkan ocehannya, mendengar bagaimana cara pemuda itu bicara, ekspresi wajahnya, gestur kedua tangannya, Nami merasa senang.

Melodi klasik dan sang pianis membuat senyum tak luput dari wajahnya. Untuk beberapa alasan, sosok Hueningkai mampu membuatnya terlepas dari hari yang melelahkan.

"Jadi begitulah ceritanya bagaimana aku bisa membeli banyak plushie dari kartu kredit Lea. Nah bagaimana denganmu? Sepertinya aku terlalu sering menceritakan banyak hal tentangku, ayo ceritakan juga tentangmu! Aku ingin—mendengarnya!" Kai nyaris saja keceplosan jika saja tidak segera menemukan kata lain yang tepat. Jantungnya berdegup sementara Nami terkekeh melihat ekspresinya.

"Tentangku? Hmm, apa ya? Sepertinya tidak jauh berbeda seperti yang dikatakan orang-orang. Ambisius dan tidak menyenangkan. Kalau keluarga, sepertinya tidak semenarik keluargamu. Aku punya satu adik perempuan tapi ia tidak seperti Hiye. Namhee yang populer terlalu cuek dan sulit di dekati, dia anak yang pilih pilih teman. Lalu aku punya Ayah yang tidak menyenangkan, dan Mama yang dingin." Senyuman kecut itu membuat Kai menatapnya agak lama. Kala menyebutkan kata 'mama', Kai menyadari ada sepercik kebencian dari cara bicara dan raut wajah Nami.

Mélodie Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang