MÉLODIE
Maurice Ravel — Pavane pour une infante défunte
🎶
Baru saja menjejakkan kaki di ambang pintu, Nami langsung disambut hawa mencekam. Menggigit bibirnya ragu, Nami menemukan dua eksistensi mengisi ruang tamu. Namhee yang semula berselancar di dunia maya beralih menatap sang kakak, tersungging seringai pada wajahnya. Sementara di sebelahnya, Mama dengan tampilan elegannya menatap lurus pada layar televisi, beliau sempat tersenyum pada Nami saat sadar putri sulungnya telah tiba di rumah.
"Mama ingin kamu menjelaskan, bagaimana bisa Mama mendapat dua kali panggilan sekolah yang mengatakan bahwa kamu membolos kelas, Nami?"
Nami terkesiap, seolah tak mampu membalas ucapan Mama. Sorot mata setajam elang itu menusuk pada Nami. Gadis itu tergugu, benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
Jika Nami mengatakan bahwa ia tidak membolos, jelas sekali berbohong. Ia benar-benar melewatkan jam pelajaran karena pergi ke ruang musik dan sering singgah ke atap sekolah.
"Lalu, ini. Bisa jelaskan juga pada Mama?" Secarik kertas hasil penilaian terpampang di depan wajah Nami. Ada dua nilai merah di sana. Dari eratnya genggaman tangan mama pada kertas membuat Nami sadar bahwa sebentar lagi akan terjadi keributan.
Kertas itu diremuk hingga tak berbentuk.
"Ini bukan pertama kalinya kamu mendapat nilai merah, Nami." Mama berujar penuh penekanan, karenanya Nami merasa ciut. Jantungnya berdebar, Nami semakin sulit memikirkan kata-kata untuk membalas Mama.
Selalu seperti ini.
"Cepat katakan pada mama kenapa kau membolos, Jung Nami!!"
Kerasnya suara Mama menggema dalam ruangan. Namhee yang tahu bahwa keributan akan terjadi segera menyumpal telinga dengan earphone, ia hanya akan memperhatikan pertikaian tanpa minat ikut campur.
"Memangnya kenapa ... kalau aku membolos?" Dengan sekelumit keberanian, Nami mengalihkan pandang dari Mama. Suaranya tenggelam diantara rasa takut, Mama yang mendengarnya merasa tersinggung. Tak puas dengan jawaban Nami.
Jantung Nami berdebar, air mata menumpuk di sudut matanya. Ia ingin balas meneriaki Mama, tapi rasanya sangat kurang ajar jika Nami melakukannya.
"Beraninya, kamu. Jung Nami."
"Aku baru saja pulang, rasanya benar-benar melelahkan. Tidak bisakah Mama menanyakan hal lain saja?"
"Jangan bercanda, Nami. Mama sangat malu mendapat laporan kalau kamu membolos dengan nilai jelek. Mama kecewa, sebenarnya apa yang kamu lakukan selama ini?"
"Maafkan aku. Aku akan belajar lebih keras." Dengan senyum getir, Nami memberanikan diri menatap Mama sebelum berlari ke kamarnya. Tubuh gadis itu bergetar, bahkan nyaris tak sanggup mengunci pintu kala mendapati kedua mata Mama dan tatapan matanya yang mengerikan. Nami seakan ditusuk ribuan belati.
Gadis itu menjerit, kali ini tangannya menghempaskan bingkai foto kelulusan bersama Mama. Suara pecahan kaca membuatnya tertawa hambar.
Terasa sesak. Mengapa Mamanya selalu saja mementingkan sebuah angka pada kertas ketimbang dirinya, Mama terus menekan Nami tanpa sadar batas kemampuan anaknya. Nami benar-benar lelah, hanya tak tahu harus mengadu pada siapa.
Tuhan?
Rasanya memuakkan, setiap doa yang terlontar pada tuhan adalah agar dirinya bahagia tanpa harus hidup di dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mélodie
Fanfiction"Setidaknya, terima kasih karena telah memberi harapan dan kebahagiaan melalui melodi. Terima kasih karena telah mencoba menyelamatkan hidupku."