____Aku berjalan gontai menuju kamar setelah membersihkan sisa-sisa makan malam didapur, rasanya sedikit pengap karena perutku yang semakin membesar. Awalnya Seokmin yang akan melakukannya tapi aku melarang dengan dalih itu adalah tugasku, lagi pula aku tidak tega membiarkannya melakukan itu cukup dengan dia bekerja saja di kantor pekerjaan rumah biar jadi tanggung jawabku karena aku tahu akhir-akhir ini pekerjaannya sedang tidak berjalan lancar, bukankah sebagai istri aku harus mengerti keadaannya ?
'Klek'
Pintu terbuka, kedua mataku langsung menangkap sosoknya yang terbaring diatas ranjang sedang memainkan ponsel.Aku berjalan mendekat kemudian mendudukan diri pada pinggir ranjang, Seokmin yang sadar dengan kehadiranku menoleh lalu tersenyum.
"Sudah selesai ?"
"Hmm."
"Kemarilah." Titahnya sambil menepuk tempat kosong disisi tubuhnya, aku mengangguk. Dengan susah payah kunaikan kedua kakiku ke atas ranjang, bagaimana pun aku harus berhati-hati karena aku tidak ingin terjadi apa-apa pada anakku hanya karena aku ceroboh.
Seakan mengerti Seokmin menggeser tubuhnya lebih dekat denganku kemudian menawarkan tangannya untuk kujadikan bantal, dengan senang hati aku menerimanya karena memang itulah yang aku inginkan sekarang bermanja padanya setelah seharian aku ditinggal pergi bekerja.
Semenjak awal kehamilan hingga sekarang sudah menginjak usia tujuh bulan, sifat manjaku pada Seokmin semakin hari rasanya semakin bertambah. Rasa takut akan kehilangan itu semakin besar, terlalu berlebihan memang tapi itulah yang kurasakan."Bagaimana hari ini ?" Tanyanya yang kini sudah berubah posisi menjadi menyamping, aku yang hanya bisa tidur secara terlentang karena masih merasa pengap jika harus menyamping menoleh sambil tersenyum.
"Hari ini serperti biasa."
"Tidak ada hal baru ?" Aku terdiam mencoba mengingat apa saja yang kualami hari ini.
"Ah~ aku ingat. Tadi siang setelah kau selesai menelponku, perutku terasa ditendang dari dalam tidak keras dan kau tahu aku senang ketika merasakannya."
"Senang ?"
"Humm. Seperti dia senang karena sudah mendengar suara ayahnya." Aku mengangguk antusias diiringi dengan senyum kecil.
"Jika aku yang tendang apa kau akan senang juga ?" Aku langsung mendelik padanya, apa-apaan dia!
"Kau ingin membunuhku ?!" Tanyaku sarkas sementara Seokmin hanya terkikik geli mendengar pertanyaanku.
"Aku tiba-tiba teringat dulu pernah tak sengaja menendangmu dari atas kasur ketika kita sedang bercanda. Setelah itu kau mendiamkanku membuatku uring setengah mati untuk meminta maaf."
Ingatan ku terbang pada kejadian itu, jika tidak salah itu ketika kami baru sebulan menikah. Seperti pada pasangan baru pada umumnya, kami masih sering bercanda menghabiskan waktu berdua dirumah karena terlalu malas untuk pergi keluar diakhir pekan. Entah karena apa yang kuingat terakhir sebelum aku terjatuh, aku sedang menggelitiki Seokmin karena aku kesal dia terus menggangguku ketika bermain game di ponsel. Setelah itu jelas aku marah karena itu sangat sakit.
"Syukurnya tak lama setelah itu kau memaafkanku." Ujar Seokmin diselingi tawa kecil menyadarkanku dari lamunan. Aku tersenyum lalu sedikit beringsut agar bisa memeluknya. Kulingkarkan tanganku diatas perutnya lalu mendongak untuk menatap wajahnya yang kentara dengan rasa lelah itu.
"Lelah ya ?" Tanyaku sambil mengelus lembut pipinya yang belakangan ini terlihat sedikit tirus, dia menggeleng. Tanpa rencana aku mencium bibirnya sekilas meski aku sedikit kesusahan tapi itu tidak jadi masalah. Seokmin tersenyum setelah mendapat ciuman mendadak dariku.
"Jangan paksakan dirimu, nanti siapa yang mengurusiku jika tiba-tiba aku melahirkan dan kau malah sakit ?"
"Hey sembarangan, tidak-tidak! Usia kandunganmu baru tujuh bulan. Masih ada waktu dua bulan lagi sebelum Seokmin kecil melihat dunia."
Kali ini aku tertawa, wajahnya serius sekali ketika mengatakan itu padahal aku hanya bercanda berniat untuk menakutinya saja karena sifat keras kepalanya itu.
"Kalau begitu jangan paksakan dirimu terlalu keras Seok, lihat ini. Kantung mata mu menjadi hitam dan pipimu menjadi tirus seperti ini, aku tidak suka. Terlihat seperti aku mengabaikanmu karena hamil padahal kau sendiri yang sulit untuk aku peringati!"
Seokmin diam tidak ada satupun bantahan yang dia lontarkan membuatku jengah, astaga! Ada apa dengan suamiku sebenarnya ? Aku merasa aneh sendiri karena biasanya dia akan membalas dan berakhir dengan aku dan dia yang beradu argumen.
Aku mengangkat sedikit kepalaku lalu menarik tangan Seokmin yang kujadikan bantal agar aku bisa lebih leluasa melihatnya, akupun beringsut untuk mensejajarkan wajahku dengannya."Seok aku minta maaf karena sudah memarahimu barusan, seharusnya aku tidak melakukan itu. Aku tahu kau lelah tapi kumohon jangan seperti ini. Ya ?" Pintaku sambil menangkup pipinya, Seokmin menatapku dalam yang hanya kubalas dengan raut wajah memohon.
"Sekhawatir itu kah kau ?" Tanyanya membuatku mengerlikan mata, pertanyaan macam apa itu.
"Justru akan jadi pertanyaan besar jika aku tidak khawatir padamu."
Seokmin tersenyum kemudian dia mendekatkan wajahnya padaku, mencium bibirku dengan lembut yang dengan senang hati kuterima.
"Maafkan aku." Ujarnya setelah menyudahi ciuman kami tatapannya berubah menjadi sendu membuatku semakin merasa bersalah karena tadi sudah memarahinya, aku menggeleng lalu kembali menciumnya kali ini lebih dalam dari sebelumnya. Seokmin menarik tengkukku untuk lebih memperdalam ciuman kami hingga membuatku harus sedikit meremat rambut belakangnya.
Seokmin melepaskan ciumannya ketika aku menepuk bahunya karena kehabisan nafas.
"A-akh..!" Ringisku pelan karena ada tendangan tiba-tiba dari dalam perutku.
"Sayang kenapa ?" Tanya Seokmin dengan nada panik dia sampai bangkit dari tidurnya karena melihatku meringis.
Aku menggeleng."Anakmu menendangku." Ujarku, yang hanya dibalas dengan sebuah senyuman oleh Seokmin.
"Sepertinya dia protes karena ibunya hampir kehabisan nafas."
Kali ini Seokmin tertawa hingga membuat kedua matanya menyipit, dia bergeser hingga kini wajahnya tepat berada diatas perutku. Dia mengelusnya pelan lalu menciumnya.
"Maafkan ayah nak, habisnya ibumu menggoda ayah. Mana tahan ayah di goda seperti itu terlebih oleh ibumu. Sehat terus anak ayah, jangan aneh-aneh didalam sana sebentar lagi kita akan bertemu. Oke sayang." Ujar Seokmin lalu mencium perutku lagi. Aku hanya memperhatikannya sambil terkikik geli, akhirnya suamiku kembali.
Kutepuk bantal disampingku mengisyaratkan Seokmin untuk segera kembali berbaring. Aku beringsut untuk memposisikan diri lebih tinggi dari Seokmin agar dia bisa menjadikan dadaku sebagai bantal, aku tahu dia juga butuh untuk kumanja. Dia menurut, tangannya melingkar dipinggangku sedangkan kepalanya menyender pada dadaku."Terima kasih." Ujarnya pelan. Aku hanya diam sambil mengelus rambutnya, berharap agar dia segera terlelap untuk menyembuhkan rasa lelah ditubuhnya.
***