Mobil sedan hitam yang tengah dikendarai oleh Daffa melaju cepat melintasi jalanan ibu kota yang cukup padat untuk menuju ke rumah salah satu gadis favoritnya.
Sedangkan sang gadis, sudah bersiap menunggu lelaki itu di depan gerbang rumahnya, seakan ia tahu bahwa lelakinya akan segera tiba.
Langit sore menjadi teman perjalanan mereka menuju ke sebuah pantai yang ada di pinggir kota. Keduanya memilih pantai menjadi tempat untuk menghabiskan waktu akhir kebersamaan mereka berdua.
Semilir angin pantai dan ambu air laut pun menyambut kedatangan dua insan itu. Di atas hamparan pasir putih dan di bawah bayang-bayang nyiru kelapa, mereka berjalan bersama menyusuri jalan pinggir pantai untuk mencari tempat yang tepat menikmati senja di sore hari ini.
Deburan ombak di kejauhan sana perlahan menghampiri pantai, menyapa hangat butiran pasir putih yang menjadi alas mereka. Duduk berdampingan bersama seorang terkasih, sembari menikmati keanggunan sang mentari yang mulai menenggelamkan dirinya di ujung pantai sana, menjadi sebuah momen yang sangat berharga untuk keduanya.
Di bawah sorot jingga kemerahan ini, keduanya masih asyik menyaksikan pemandangan yang ada di depannya. Sesekali netra sang gadis memandang wajah samping milik Daffa dengan pandangan pilu.
Senja, gadis itu masih memandang pilu ke arah lelaki yang selama hampir 15 tahun ini menjadi sahabatnya, juga menjadi tempatnya bersandar dan pulang. Sedang lelaki yang dipandang ikut menolehkan pandangannya kepada sang gadis.
Senja tersenyum pilu, ketika netranya bertemu pandang dengan dua manik cantik milik Daffa. Daffa bereaksi kebingungan saat melihat ekspresi sahabatnya itu.
"What's wrong?" Tanya Daffa, dengan nada yang sedikit khawatir.
Senja memperlebar senyuman di wajah cantiknya, sembari menggelengkan kepalanya pelan, mengisyaratkan bahwa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Daffa mengangguk paham, tapi netranya masih belum bisa berpaling dari wajah Senja. Seakan ia tahu, ada hal yang ingin Senja sampaikan.
"Daffa makin gede makin ganteng ya, beda sama dulu waktu jaman SD. Udah lemot, masuk kelas selalu telat, makannya belepotan," lanjutnya, kekeh sang gadis.
Bukan, bukan hal ini yang ingin Senja sampaikan kepada Daffa. Daffa yakin 100% pasti ada hal lain. Alih-alih memenuhi rasa penasarannya, Daffa memilih membalas perkataan sahabatnya itu.
"Iya dong, jelas beda! Emangnya lo, gak berubah, dari dulu sampe sekarang badan lo masih aja kecil," balas Daffa. Kini giliran Daffa yang terkekeh, sedangkan Senja terlihat sedikit kesal.
"Rese banget sih lo! Jangan tambah ngeselin deh, gue udah kesel karena besok lo bakal jadi suami orang!" Pekik sang gadis, Daffa pun tertawa setelah mendengar perkataan dari sahabatnya itu.
Daffa masih terbahak, belum bisa memberhentikan tawanya, "Kalo gue bisa pilih jodoh, gue sih pengennya sama lo."
Senja diam, berusaha mencerna perkataan dari sahabatnya. Entah lelaki itu hanya bercanda atau pun serius dengan perkataannya, rasanya ingin sekali hatinya berteriak untuk menyetujui perkataan dari lelaki itu. Tapi Senja memilih bungkam, diam seribu bahasa. Tidak akan ada yang berubah walau Senja mengungkapkan isi hatinya kepada Daffa saat ini.
Besok, lelaki yang selalu menjadi penyemangat hidupnya itu, akan menjadi seorang suami dari wanita pilihan Bundanya Daffa. Senja sadar, ia tak akan sanggup melihat semua perhatian dan kasih yang selama ini Daffa berikan kepadanya akan berpindah kepemilikan. Jangankan untuk melihat, mambayangkannya saja Senja tak akan bisa.
Rasanya berat, sesak, hancur. Tapi mau bagaimana lagi, ia tak bisa menggenggam atau pun melepasnya. Gadis itu hanya bisa membancang tangisnya, setidaknya hingga senja ini berakhir.
Senja mengakui bahwa dirinya sangat pengecut. Kini ia sadar, ego nya telah mengalahkan hatinya sendiri. Ia berharap atmanya hirap bersamaan dengan mentari disana, daripada harus merasakan kehilangan orang yang selama ini ia sayangi.
Tiap-tiap hari dan waktu yang mereka habiskan bersama kini hanya tinggal kenangan. Tak akan ada lagi waktu kebersamaan untuk mereka berdua, karena akan ada satu perasaan wanita lagi yang harus Daffa jaga.
Andai waktu bisa diputar kembali, ingin rasanya ia mengungkapkan isi hatinya kepada sahabatnya itu. Tapi apa mau dikata, waktu sudah berlalu, dan semuanya hanya terasa menyesakkan di dada. Kadang dunia terlalu keterlaluan lucu, ketika mempermainkan dua hati yang selalu bersama tapi tidak dipersatukan.
"Lo akan selalu jadi gadis favorit gue," ujar Daffa tiba-tiba.
Senja tersentak dan menoleh ke arah Daffa yang masih memandang mentari yang hampir menyelesaikan tugasnya.
'Gadis Favorit' dua kata ini terngiang di kepala Senja. Ia masih diam menatap sahabatnya, tak berniat untuk bercakap. Sedang yang ditatap, masih setia menatap mentari yang hampir tenggelam di sana.
Pantai dan senja sore hari ini menjadi saksi bisu tentang akhir kebersamaan mereka. Dua hati yang tak bisa bersatu karena ego semata. Seolah ego yang menjadi pemimpin dari hubungan mereka.
Senja berfikir sejenak, ia mencoba untuk mengesampingkan ego nya sendiri dan berusaha meraih kebahagiaan bersama Daffa.
Selagi janur kuning belum melengkung, segala kemungkinan bisa saja terjadi.
- B T T -
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Twilight (ONE SHOT)
Short Story"Kalo gue bisa pilih jodoh, gue sih pengennya sama lo." -Daffa 2020