Mengawali kehidupan yang baru, begitu pikirku pada awalnya. Lulus masuk sekolah menengah atas favorite di Busan menjadi suatu kebanggaan bagi diriku maupun keluargaku, setidaknya kakakku yang perfeksionis berhasil berkata sekarang kau sudah menjadi bagian dari keluarga, ya. Memiliki latar belakang orangtua yang hebat juga seorang kakak perempuan yang sukses, menjadikanku harus berusaha lebih keras agar tidak dianggap sebagai kecacatan dalam keluarga.
Huh, itulah hidup.
Dan kenyataannya aku hidup di dunia yang memiliki pemikiran, penampilan yang paling utama. Fucking beauty girls. Meski aku sudah berusaha menjadi gadis yang cerdas agar memiliki banyak teman tetap saja aku di olok oleh segerombolan gadis-gadis cantik dengan sifat mereka yang seperti berandalan. Juga di sekolah ini ternyata memiliki sistem kasta didalamnya, jika memiliki wajah menarik, kaya raya, kekuasaan, dan pintar (hanya sebagai bonus). Maka orang itu akan masuk dalam lingkup pertama, yang kedua dimana sosok siswa yang mudah bergaul, sering bergosip, juga mengikuti trend saat ini. Dan jika aku dimasukan kasta seperti itu, aku berada di bagian ketiga dimana berisikan siswa-siswi pendiam, penurut, dan tentu saja bisa menjadi pesuruh bagi yang memiliki kasta pertama dan kedua.
Aku pun bingung, mengapa aku masuk dalam kasta terakhir. Padahal aku pintar, menjadi juara sekolah kedua saat tahun pertama. Tetapi, aku tetap dikucilkan sebab mereka beranggapan sifatku yang pendiam juga tentu saja bentuk fisik yang tidak termasuk dalam golongan kasta pertama. Menyebalkan sekali bukan? iya, sangat. Kukira sekolah terbaik di Busan ini akan memiliki siswa-siswi yang ramah tamah pula, nyatanya nol. Sikap mereka benar-benar buruk, entah karena kebiasaan mereka yang selalu di manja aku pun tak tahu. Beruntung aku tidak sampai berpikiran untuk mengakhiri hidup, otakku masih bekerja baik.
Hingga dimana suatu kejadian membuatku merasa ingin menghilang dari permukaan. Kenangan buruk yang selalu menjadi kenangan bagiku. Dipermalukan satu sekolah dan diolok selama 2 bulan tanpa henti. Tentu saja aku ingat dengan jelas wajah mereka dan nama mereka. Tidak akan pernah ku lupakan.
---
"Duduk sesuai nomor yang sudah kalian dapatkan tadi ya anak-anak". Begitu ucap Bu Sol; wali kelasku.
Aku melihat nomorku, mencari meja dan kursi kosong milikku. sebelas. Ah, ternyata di baris kedua yang dekat dengan papan tulis dan pintu keluar. Baguslah. Aku duduk dan menyimpan tas punggungku di samping meja. Tak lama kemudian, terdengar suara deheman dari samping kananku. Sontak aku menoleh dan betapa terkejutnya aku mendapati sosok pria yang digandrungi oleh banyak siswi di sekolah ini, ia terkenal akan kecerdasan, ketampanan, dan kebaikannya. Sudah dari satu tahun lalu aku menyukainya dalam diam dan tak menyangka bahwa di kelas dua aku duduk bersama dengannya.
"Nomor sebelas, benar?" Ucapnya lembut dengan senyum yang mempesona. Aku diam sejenak karena melihat senyumnya yang memikat. "a-ah iya benar" Jawabku singkat. "Aku nomor dua belas, aku duduk disini ya." Lagi, suaranya tanpa izin masuk ke gendang telingaku dengan indah.
Oh astaga, apakah ini mimpi? Seorang Jeon Kwan duduk bersebelahan denganku. Saat kelas satu dulu, ia sering melerai anak-anak yang sudah keterlaluan dalam mengolokku. Ia yang selalu tersenyum dan membuat teman-temannya yang mengolokku berhanti melakukan perbuatan buruk padaku. Karenanya lah terkadang aku dapat bernapas bebas dari tindakan buruk teman-temanku di kelas, dan juga karena sikapnya yang seperti itu aku menjadi menyukainya untuk pertama kali.
Pelajaran bu Sol berakhir dan dilanjut dengan pembelajaran jam kedua. Aku kembali fokus kepada pembelajaran setelah Pak Kwon berkata pembelajaran dimulai. Menghabiskan 30 menit bagi Pak Kwon menjelaskan materi saat ini, hingga suara Pak Kwon menginstrupsi "Baik, saya akan memberikan soal latihan kepada kalian. Tersisa 15 menit sebelum bel istirahat berbunyi. Berikan pada saya saat istirahat." tutur Pak Kwon jelas, "Ketua kelas, tolong dikumpulkan ya.", "Baik, bu." Ucap Kim Gyeong woo, ketua kelas. Setelahnya Pak Kwon keluar kelas dan meninggalkan kami dengan soal latihan yang berjumlah 10 soal.
Awalny aku fokus dalam mengerjakan soal yang diberikan oleh Pak Kwon, hingga di nomor enam ada suara yang mengintrupsi kegiatanku. "Kau Lee Eun ra, ya?"
"hmm, y-ya. Kenapa?"
"Apa kau kesulitan? Jika iya, kemari akan kubantu." Ucapnya sembari menggeser kursi dan sedikit mendekat ke arahku. Oh tidak, jangan lakukan itu. Jantungku berdegup kencang, aku takut jika ia mendengarnya. "Hei, kenapa melamun? ada kesulitan tidak?"
"Hah? a-ah, maksudku tidak ada. Sejauh ini aku bisa menyelesaikannya."
"Baiklah."
Jeon Kwan kembali ke tempatnya semula, dan aku kembali mengerjakan latihan soal dengan serius. Dengan kacamata yang bertengger di wajahku, juga bulpen yang senantiasa menggores lembaran kertas dengan jawaban. Tanpa sadar, sedari tadi lelaki yang berada di sampingku terus memperhatikan ke arahku ketika mata kami bertemu tidak sengaja. "A-apa yang k-kau lakukan?"
"Mendengarkan musik, dan ... memperhatikanmu?"
Aku menelan salivaku yang mengganjal di tenggorokan, menghilangkan rasa gugupku saat berhadapan langsung dengannya. "Kenapa?" Ucapku lirih tetapi nyatanya sampai terdengar ke telinganya, "tentu saja, karena kau menggemaskan. Lihat pipi chubby itu, sangat ingin sekali ku cubit!" Seketika aku merasakan bahwa wajahku memanas juga degub jantung yang berdetak makin cepat. "Oh? kenapa wajahmu memerah? kau sakit?" Tangannya dengan tiba-tiba mendarat di dahiku tanpa izin dan aku yang mematung sebab ulahnya.
"Kau sedikit demam sepertinya Eun ra. Ayo kita ke UKS."
Aku menepis tangannya dari dahiku, "A-ah maaf. Tapi, aku tidak apa-apa sungguh." setelahnya aku kembali melanjutnya mengerjakan soal yang tersisa satu nomor. "Jika kau sakit, bilang padaku ya aku akan mengantarmu." Ucapnya lembut dan dibalas anggukan kecil dariku.
Bel istirahat berbunyi, menandakan seluruh siswa-siswi keluar untuk makan siang. Aku sudah selesai mengumpulkan buku latihanku dan kembali ke tempat duduk, tidak seperti yang lain. Aku malas untuk datang ke kantin, tentu saja aku tidak ingin kembali dipermalukan oleh Jin Dalmi, teman sekelasku. Ya, walaupun tidak menutup kemungkinan ia akan mengolokku di dalam kelas. Tapi hal itu tak seburuk saat semua pasang mata melihat ke arahmu dengan dalih kasihan namun tidak mau membantu.
"Kau tidak ke kantin?" Ucap suara berat dari sampingku. Aku menggeleng dan bersiap mengambil bekal dari dalam tas. Aku membuka bekal yang kubuat tadi pagi, roti lapis daging, nugget, juga susu cokelat. Aku menoleh ke samping dan kembali menemukan Jeon Kwan yang masih duduk di kursinya dengan tangan kanan yang menopang kepala, memperhatikanku. "Kau tidak ke kantin?" tanyaku.
"Tidak, aku malas. Aku disini saja menemanimu." Lagi, ia membuatku tersipu. Astaga, mengapa aku lemah sekali dengan perkataannya? Ayo, sadarlah lee Eun ra. "Baiklah." Aku memotong roti milikku menjadi dua bagian, dan menawarkannya pada Kwan. "Oh? ini enak. Ibumu hebat membuat roti lapis isi daging ini."
"Ah, terima kasih. Itu aku yang membuatnya."
"Ini kau yang membuat? wah, enak sekali. Lain kali bawakan untukku juga ya!" Ucapnya riang dengan mulut yang penuh dengan roti isi daging milikku. Aku tersenyum dan kembali memakan makan siang milikku ditemani oleh Kwan yang sesekali membuatku tersenyum karena ucapannya.
Mungkin kali ini cinta pertamaku dapat terwujud.
Jeon Kwan, aku menyukaimu.
---
To be Continued~
Note*
Hi, gengs! Cerita ini adalah Refurbish, tapi aku ganti judulnya karena menurutku butuh perbaikan dari segi judul biar masuk ke jaln cerita. Sooo, silahkan menikmati Versi yang baru ini ^^.
Besok aku kasih fotonya Jeon Kwan, penasarankan? wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Look at Me, Now!
FanfictionAh, apakah kau tahu bagaimana rasa terjatuh dari atas langit saat kau mencoba untuk mendarat dengan baik? Jika belum maka aku akan memberitahu rasa itu padamu. Aku akan membuatmu tidak bisa menatap kemana pun, selain diriku. Lalu selanjutnya.. apa k...