tiga

59 14 3
                                    

Kesempatan emas itu ... kalau datang dua kali bukan emas lagi. Jadi tinggal ampas saja.

***

6 Mei.

"Pak Stev, saya mau kuliah di luar negeri."

Aku mengetuk pintu ruang BK dan membukanya tanpa izin. Wajah datarku langsung menyembul di hadapan pria berjenggot tipis dengan wajah mulus itu.

"Ngomong apa kamu, Rin?"

"Pengen kuliah di luar negeri!" ulangku dengan kerutan di kening karena kesal.

"Terus? Kenapa bilang ke saya? Ya udah, kuliah aja."

"HIIIIIH, maksud saya, carikan informasi, dong, bapakku yang paling ganteng dari sekumpulan orang nggak ganteng!"

Guru BK itu menatapku sinis, tak peduli. Ingin aku memaki, tetapi sayang, dagunya yang menunjuk kursi membuatku tersenyum semringah.

"Bapak mau, 'kan, bantu saya? Beneran, Pak, saya pengen kuliah di luar negeri. Kali ini, saya pastikan juara satu paralel lagi!" seruku menggebu.

Aku masih menatap pria berumur sekitar 32 tahun itu mengulurkan tangan. Jari telunjuknya mengarah pada rak brosur. Mataku seketika berbinar bahagia melihat sekumpulan kertas brosur itu.

"Saya print tadi pagi, memang khusus buat kamu, wong saya belum sempat mau manggil kamu." Pak Steven kembali sibuk dengan komputer di depannya.

Segera kubuka-buka dan melihat kampus mana saja yang menerima mahasiswa baru lewat bidikmisi dan beasiswa.

"Waw, Jepang!" seruku bahagia.

Mataku dengan jeli segera membaca kata per kata saksama dalam hati. Ada perasaan aneh saat tanpa sengaja aku mencermati brosur ini. Entahlah, seperti perasaan optimis pasti aku akan diterima.

Seluruh tubuhku merasa disengat listrik karena nyatanya sekarang bergetar hebat. Aku tidak menyangka cita-citaku akan segera terwujud. Air sudah berada di pelupuk. Akan kubuktikan, aku bisa!

"Saya bawa pulang, Pak! Makasih!" seruku sembari berlari pergi dari ruangan itu.

***

"Hai, Rin Sayang!"

Aku menepuk dada dengan mata melotot. Lagi-lagi mukanya menyembul di balik gerbang tepat saat aku pulang sekolah. Segera kuusir lelaki berbaju norak itu. Enak saja dia memanggilku sayang. Hih!

"Dibilang gue nggak pengen nikah!"

Lelaki berusia sekitar 25 tahun itu tersenyum lagi. Bahkan, umur kita selisih delapan tahun, bagaimana bisa?

"Ya nanti pasti pengen, kok, Beb."

"HOEK! MUAL! MANA KRESEK?"

Annie di sampingku menatap datar. "Kalian ini pasangan macam apa, sih, masa nggak ada romantisnya?"

"Diem, bacot!"

***

Di rumah, aku terus memikirkan banyak hal, mengapa Mama ngotot menikahkanku dengan lelaki jelek itu? Bukankah harusnya aku sekolah? Padahal aku bukan karena dari keluarga rendah banget, kok. Sederhana saja, karena Papa bekerja sebagai sopir bus, dan mama buka warung kecil serba ada.

Apakah sesusah itu menyekolahkanku di perguruan tinggi? Hah, padahal Jepang sudah di depan mata.

Ada baiknya aku mengemas seluruh barang-barang untuk persiapan ke Jepang. Aku tidak ingin ketinggalan pesawat nantinya. Kalau masalah diterima tidaknya, aku yakin seratus persen diterima.

"Rin, lo beneran mau ke Jepang?"

Aku mengambil ponsel yang masih bersuara di seberang sana. Tadi memang sempat melakukan panggilan Line dengan Annie, tetapi kubiarkan.

"Hm."

"Gue tadi cerita-cerita sama om gue buat kuliah di Aussie, trus gue juga ada cerita tentang lo. Sorry, tapi menurut gue ... ini-Kalau emang bener lo mau ke Jepang, katanya, om gue mau, loh, biayain lo secara gratis."

Aku melotot, awalnya biasa saja, tetapi kalimat akhir itu menggelitik rasa euphoria dalam diriku.

*****

1-11-20.

Adakah yang baca cerita ini? (:

Gue Belum Pengen Nikah! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang