epilog

81 15 15
                                    

Tak ada cerita yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik-Nya.

***

Hatiku seakan dijatuhi beribu beton, disayat belati, dihunus pedang es, ditusuk berjuta kepedihan. Mataku seketika mengeluarkan kristal bening tidak hanya sebulir, menciptakan ruangan sunyi itu terasa pilu.

Segera kutubruk tubuh Mama yang terasa kaku. Sungguh, tak ada maksud hati membuat semuanya sekacau ini. Bahkan, aku merasa menjadi penjahat yang tak kenal tempat dan situasi. Baru kusadarai setelah sekian lama. Apakah aku layak disebut anak yang berbakti pada orang tua? Justru, aku anak durhaka yang tak punya hati.

Tangan Mama balas memeluk tubuhku. Aku tersentak, apakah dia tak marah padaku yang telah meninggalkan keluarga ini tanpa pamit?

"Ma ..., maafkan Rin, Ma. Hiks ... hiks ...." Tangisan tak bisa kusembunyikan. Tubuh Mama semakin kudekap hingga kurasakan kehangatan.

Terus saja aku menangis, entah menggangu siapa pun di ruangan ini, aku tak peduli.

"Azzarine ... hiks ..., minta maaf, hiks ..., Mama ...."

Tiga menit berlalu, barulah Mama melepas pelukanku. Wajahnya pucat, tubuhnya ringkih sekali, ia terlihat tidak baik-baik saja. Bahkan, riasan wajah yang selalu ia pakai kini tak lagi tampak. Wajahnya seperti orang asing. Kukira semuanya akan terjalani dengan mudah setelah kepergianku, ternyata dugaanku seratus persen salah. Aku tak bisa membuktikan ucapan dan janjiku.

Hingga ketika mataku menatap seseorang yang tengah terbaring tak berdaya di brankar rumah sakit itu, barulah kusadari semuanya.

"Papa ... kenapa enggak bangun, Ma?" tanyaku.

Aku mendekat pada brankar itu dan mengelus kepala Papa. Kucium tangan dan pipinya. Beberapa kali juga kupeluk tubuhnya.

Sepuluh detik keheningan, barulah Mama berbicara dengan datar. "Semenjak kepergianmu malam itu ... Papa yang paling marah. Dia menyalahkan Mama dan Raga karena terlalu mengejekmu. Padahal ... kata Papa, kami bisa menguliahkanmu jika di tempat terdekat saja. Meskipun dia tidak setuju kamu ke Jepang, tetapi dia menyalahkan Mama jika benar menjodohkanmu dengan Dave. Padahal ... itu semua rencana Papa supaya kamu mau tinggal di Indonesia. Dave anak baik yang akan mengajakmu kuliah di Indonesia saja. Sayang sekali kamu pergi malam itu.

"Paginya, barulah Papa mengalami kejang luar biasa. Segera kami bawa ke rumah sakit, dan dokter memvonis Papa hipertensi dan stroke. Mama syok, selama dua minggu kamu menghilang, Papa seperti tak hidup, Mama terlihat semakin menyedihkan, 'kan? Kamu lihat juga Raga? Dia bahkan seperti gelandangan tak punya rumah. Pekerjaannya belum sempat ia raih, tetapi harus menanggung beban kami."

Tangisku semakin mengencang. Kupeluk erat tubuh Papa yang tak bergerak. Apakah aku memang sedurhaka itu? Sejahat itu? Seegois itu? Hanya demi kesenangan belaka.

Lalu, perlahan kukendurkan pelukanku kala kurasakan pergerakan dari tubuhnya. Papa balas memelukku!

"Papa!" seruku bahagia tak terkira. Akhirnya, aku masih bisa meminta maaf atas segala sikapku. "Maafin Rin, Pa, maaf," ujarku di sela tangis.

Papa terasa mengangguk dan mengelus punggungku pelan.

Sesungguhnya, tindakan gegabah dan egois mampu membutakan segalanya. Bahkan, jika aku tak segera kembali, bisa saja semuanya tak sempat kulakukan. Aku bersyukur, ternyata Mama pun tak benar-benar membenci atau menekanku. Justru, kenyamanan dan kasih sayang hanya kudapat dari orang-orang yang tulus. Beruntungnya aku memiliki keluarga ini.

Tak ada yang berhak disalahkan, semua telah diatur oleh Tuhan sedemikian rupa supaya aku bisa memahami makna kehidupan. Untuk Annie, ia meminta maaf beberapa hari setelahnya karena sesungguhnya dia sendiri tidak mengetahui hal itu. 

Terakhir, ketika kami telah sama-sama tersenyum, ganti kupeluk erat Kak Raga, kakak tersayangku. Yang nyatanya kasih sayangnya justru lebih besar. Dia memang terlihat acuh, tetapi sesungguhnya sangatlah peduli.

Aku sayang keluargaku.

*****

2-12-20.

YEAYY, AKHIRNYA TAMAT😭😭

Gue Belum Pengen Nikah! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang