lapan

53 10 3
                                    

Bahkan, tamparan kenyataan yang baru terlihat di akhir sama buruknya dengan kata-kata menusuk.

***

17 Mei.

Aku segera menemui Mama dan Papa yang masih asyik bercengkerama di ruang tamu. Bahkan, Mama sedang mengelus kepala laki-laki berusia 28 tahun tadi.

"Ma, Pa, Rin mau siap-siap dulu, ya," ucapku ketika telah sampai di hadapan mereka. Sontak kedatanganku membuat semua orang menoleh dan menyeringai aneh.

Bahkan, lelaki yang dielus Mama tadi menatapku dengan senyum creepy. Segera kualihkan pandanganku kembali pada Mama.

"Rin, duduk sini dulu, deh," ucap Papa. Dia menepuk kursi di sebelah kanannya yang kosong. Di sebelah kiri tepat terdapat Mama dan lelaki tadi pada sofa berbeda. Lalu, depannya ada dua orang dewasa.

"Tapi ... lima belas menit lagi Rin harus bimbel, Pa." Aku meneguk pelan saliva dengan wajah waswas.

Apakah mereka lupa?

"Duduk dulu, deh. Papa mau bicara sama kamu."

Seketika otakku blank. Tak ada yang bisa kusimpulkan atas yang terjadi saat ini. Terlebih saat ucapan Papa selanjutnya.

Aku duduk dan menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut mereka kali ini.

"Kamu tidak perlu bimbel lagi sekarang."

Aku otomatis menoleh. "Maksudnya ...?"

"Kamu tidak perlu ke Jepang."

Lebih dari itu, aku berdiri dengan tidak sopannya. Kutatap mereka satu per satu dengan sorot tidak percaya.

"Ma, Pa, ini sama sekali enggak lucu, ya!"

"Kami tidak melucu. Karena memang dari awal saya berniat menjodohkan kamu dengan anak kakak saya. Namanya Adit, kamu tahu, 'kan? Dia tidak gila, dia hanya masih belum bisa menerima kepergian gadisnya. Dan kamu ... yang akan menggantikan posisi gadis itu."

"Jadi ...." Tenggorokanku terasa tercekat. Sungguh mereka tega denganku! Sudah sampai Jakarta, lalu ... mereka baru mengatakannya?

"Bukan salah kami sepenuhnya. Karena sesungguhnya kamu sudah menandatangani surat kontrak kerja sama kita."

Aku menganga. Tubuhku perlahan mundur dengan air mata bercucuran.

Mama—maksudku, wanita sialan itu mengibaskan tangannya di depan wajah. "Kamu tidak perlu terkejut begitu. Kamu jelas saja akan menjadi orang kaya setelah menikah dengan Adit. Lagi pula kamu tidak begitu buruk untuk Adit. Tidak usah perhatikan umur, kalian akan hidup bahagia setelah menikah."

Hingga akhirnya kulihat lagi wajah si Adit itu yang perlahan menatapku dengan senyum tipis. Dari matanya sudah bisa kusimpulkan bahwa dia memang lebih buruk dari Dave.

Sialan, aku dijebak!

Dengan napas memburu, aku segera berlari dari sana.

"Tidak usah kabur! Kamu ingat, 'kan, ini di Jakarta? Lagian kamu punya uang dari mana? Seluruh rumah sudah dikunci!"

Seruan demi seruan tak lagi kudengarkan. Mereka sama kejamnya. Aku terus berlari menaiki tangga dengan perasaan kacau. Hatiku sungguh sakit menerima fakta ini. Apakah mereka tidak punya hati sampai tega mengorbankan orang lain demi mengobati rasa sakit yang lain?

Hatiku serasa ditusuk beribu jarum berkarat. Bahkan, ketika aku telah sampai di kamar, semuanya terasa asing. Perutku mual seakan memang tak seharusnya aku di sini.

Bayangan orang tua kandungku di rumah seketika menggerayangi kepala. Bagaimana kondisi mereka? Apakah baik-baik saja setelah kutinggal? Apakah mereka tidak mencariku? Bagaimana caraku meminta maaf sebelum terlambat?

Annie ... sabahat penusuk!

*****

2-12-20.

Gue Belum Pengen Nikah! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang