Berpikir positif boleh, asal jangan sampai berlebihan dan membuat kita tidak lagi waspada dengan sekitar.
***
11 Mei.
Pagi ini, karena terlalu nyenyak tidur, aku terbangun setelah mendengar ketukan pintu. Kulirik jam di nakas yang menunjukkan pukul 7 kurang beberapa menit.
Kasurnya empuk dan nyaman sekali. Bukan hanya itu, aroma serta AC yang berembus membuat semuanya terasa seperti di surga.
Setelah Mama—Tante Mina—menyuruhku untuk mandi, aku segera mengambil handuk dan menuju kamar mandi di dalam kamar dengan ukuran sedang. Terdapat shower, air hangat, dan berbagai perlengkapan yang seperti memang telah disediakan khusus untukku.
"Bagaimana? Kamu nyaman tinggal di sini?" tanya Papa—Om Ardha—setelah aku ikut berkumpul di meja makan untuk melaksanakan sarapan ala orang kaya.
Aku mengangguk antusias, bahkan, tak sadar aku bertingkah seperti anak kecil.
Mereka terkekeh.
"Sebenarnya kita cuma sehari di sini. Kamu harusnya hari ini mulai bimbel, 'kan?" tanya Mama. Dia melahap daging yang telah dipotong sebelumnya.
Aku mengangguk dengan mata bertanya-tanya.
"Soalnya kita akan pindah ke Jakarta dan lebih baik kamu bimbel saja di sana. Lagian nanti biar persiapannya mudah dan cepat. Begitu hasil kelulusan kamu keluar, kita akan segera berangkat." Papa menjelaskan dengan tenang.
Aku semakin yakin bahwa pilihanku untuk meninggalkan keluarga lama tidaklah salah. Justru, dengan begini aku akan mudah menggapai mimpi.
Ah, betapa beruntungnya aku. Tak lagi kupedulikan komentar buruk di live semalam. Mulai sekarang aku akan menutup seluruh akun sosial media. Papa juga membelikanku ponsel baru dengan merk terbaru.
Kata Papa, "Fokus saja dulu dengan belajarmu. Jangan pikirkan hal-hal buruk yang belum tentu terjadi. Bukankah cita-citamu sudah sangat dekat? Apakah kamu akan menyia-nyiakannya?"
Tahu begini, kenapa tidak dari dulu aku menjadi anak Om Ardha? Mungkin aku bisa mulai fokus belajar dan tak usah marah-marah atau berdebat dengan mama dan kakakku. Ah, sudahlah, tak usah membahas mereka.
"Kamu nggak perlu membawa banyak-banyak baju, Sayang, karena sembari ke sana, Mama akan mencarikan baju terbaik untuk kamu. Kamu hanya perlu membawa keperluan pribadi yang kamu rasa harus banget dibawa. Lagi pula, nanti kamu akan punya banyak teman, kok, di sana. Tenang saja."
Senyum Mama pagi ini sungguh secerah mentari hingga menular padaku.
"Memangnya kita berangkat jam berapa, Ma, Pa?" tanyaku dengan nada antusias.
"Kamu udah nggak sabar banget, ya? Setelah sarapan dan beres-beres, kita akan langsung berangkat," jawab Mama diakhiri kekehan pelan.
Papa ikut tersenyum penuh arti.
Akhirnya, setelah sarapan, aku diminta Mama untuk menyiapkan beberapa keperluan yang harus banget kubawa. Setelahnya, kami segera menaiki mobil mewah yang membawaku semalam menuju rumah baru.
Tak kupedulikan hal-hal yang membuatku berpikir berkali-kali lipat. Kalau ada yang mudah mengapa harus cari yang rumit?
Hingga akhirnya sekitar jam 11 siang kami sampai di sebuah mall besar. Mama mengajakku turun dan kami makan siang sebentar. Lalu, dilanjut membeli baju-baju untukku banyak sekali. Aku bebas memilih baju model seperti apa saja.
Seakan dibawa ke surga, nasibku beruntung sekali, astaga!
Aku bahkan boleh memilih jenis sepatu seperti apa saja, tas, make up, aksesoris, sampai jajanan.
Beberapa kali aku mencubit pipiku sendiri, apakah ini mimpi? Namun, sakitnya sampai membuatku meringis. Artinya, aku benar-benar berada di surga dunia!
Lihat saja, aku akan mengaktifkan kembali ponsel dan media sosialku setelah sampai di Jepang!
*****
2-12-20.
Pernah punya mimpi nulis author note di Wattpad /hoam
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue Belum Pengen Nikah! [END]
Teen FictionYa, kalau dijodohkan dengan cowok ganteng ala Oppa Korea. Lah, ini? Ganteng enggak, burik iya. Alhasil, Azzarine memilih minggat saja daripada mengikuti perintah orang tuanya. Sesekali membangkang demi masa depan, tidak masalah, 'kan? Ia sudah memu...