"Halo, Mark. Selamat pagi!"
"Selamat pagi juga, Mrs. Thompson."
"Kuliah pagi lagi hari ini?"
"Iya. Terima kasih untuk bantuannya kemarin."
"Ah...masalah keran air?" wanita yang usianya sudah menginjak kepala lima itu tertawa, "Santai saja, Mark. Aku senang bisa membantu."
"Kalau begitu aku berangkat ya. Sampai jumpa!"
Mark memacu kakinya lebih cepat. Meraih sepedanya yang terparkir rapi. Udara pagi hari memang selalu menyenangkan untuk disambut.
Kesimpulan Mark setelah menghabiskan hampir empat tahun di sini.
Amerika.
Negara yang ia pilih sebagai tempat menimba ilmu. Kakaknya juga bekerja di sini, jadi ia dapat mengantongi izin dari orangtuanya dengan mudah.
Mark menyukai hari-harinya di sini.
Menghadiri kelas, kewajibannya sebagai seorang mahasiswa.
Mampir ke kafe kecil milik kakak iparnya sepulang kuliah. Duduk di sana menghadap laptop selama berjam-jam lamanya.
Kakak iparnya tak pernah merasa keberatan. Cangkir-cangkir cokelat panas akan disajikan untuknya.
Tanda kasih sayang.
Kadang juga menyambangi klub malam di kala tugas membuatnya suntuk. Walau ia harus betah menerima omelan sang kakak esok paginya.
Mark berhenti saat sosok temannya melambai di sana. Memintanya untuk mempercepat laju sepeda.
"Mark! Aku sudah menunggumu selama lima belas menit!"
"Hanya lima belas menit, Hendery."
Alis Hendery menukik sebagai bentuk protes, "Lima belas menit yang dihabiskan sambil berdiri itu tidak 'hanya', Mark."
"Jangan mengomel terus. Kau ingin terlambat?"
"Aku masih ingin hidup. Sekarang biarkan aku menumpang sampai gedung kampus."
Belum sempat Mark menjawab, Hendery sudah naik. Menepuk pundaknya berkali-kali.
"Ayo."
Hendery yang seenaknya.
Sahabatnya.
Kling
"Selamat dat-oh, hai, Mark."
"Halo, Hyung."
Sosok yang lebih tua tersenyum ramah. Mempersilahkan Mark untuk duduk di temoat biasa.
Meja kecil di dekat meja barista. Spot favorit yang sudah Mark klaim sebagai miliknya.
"Cokelat panas, Mark?"
"Kopi saja, Hyung. Kepalaku rasanya ingin pecah."
Tawa merdu berdering di samping telinga seiring langkah kakak iparnya menuju counter.
Namanya Lee Taeyong. 26 tahun.
Seorang malaikat yang mau-maunya bersanding dengan kakaknya yang menyeramkan.
Padahal Mark ingat pernah mendapati foto seorang pria tampan di dompet sang kakak ipar.
Mantan kekasih, katanya.
Fotonya tidak dibuang karena nyawa pria di foto itu direnggut paksa oleh kecelakaan mengerikan.
Mark pernah menggoda kakaknya soal itu.
Sayangnya, si pria di foto juga dikenal baik oleh kakaknya.
"Kuliahmu? Lancar?"
"Lumayan. Seharusnya bulan depan aku sudah bisa menyelesaikan studiku."
"Baguslah. Johnny pasti akan senang mendengarnya."
"Tentu saja. Johnny Hyung pasti ingin aku cepat-cepat pergi dan tidak mengganggumu lagi."
Taeyong tertawa lagi. Kali ini sambil menyodorkan secangkir kopi panas yang diterima Mark dengan senang hati.
Bersamaan dengan itu, segerombolan anak sekolah masuk. Mengharuskan Taeyong berdiri untuk menyapa.
Mereka tampak saling bertukar gurauan. Mengumbar tawa yang agak terlalu keras tapi menular.
Dan mata Mark tidak bisa berpindah.
Mungkin ia menatap mereka terlalu lama.
"Kau baik-baik saja, Mark?"
"Iya, Hyung."
Taeyong, hafal betul tindak tanduk adik iparnya, merangkul Mark erat.
"Rindu rumah?"
"Hm. Rindu sekali."
■note:
-huruf miring untuk kalimat-kalimat yang diucapkan dalam bahasa Inggris.
-huruf miring bercetak tebal untuk flashbacks.