Musik memekakkan telinga menjadi candu. Begitu juga aroma alkohol yang begitu pekat.
Mark sendiri tidak ingat bagaimana ia berakhir di tempat ini.
Tempat terkutuk yang menjadi larangan Johnny satu-satunya.
"Jauhi. Oke?"
Mark harus pergi.
Tapi kakinya tidak ingin. Ia tidak ingin.
Ia tertawa. Entah untuk apa.
Keadaannya? Atau warna minuman yang rasanya semakin beragam seiring waktu berlalu.
Tawanya semakin keras. Memperoleh tatap khawatir dari si bartender yang sudah ia kenal dekat.
"Mark, kau baik-baik saja?"
"Hmm?"
"Kau baik-baik saja?"
"Tentu saja, Bangchan Hyung," Mark menyahut asal, "Apa aku tidak terlihat baik di matamu? Apa aku masih belum cukup baik?"
Racauan Mark semakin menjadi. Panik, Bangchan menarik kembali gelas tequila di atas meja.
Temannya ini sudah terlalu banyak mengonsumsi alkohol.
"Kau kemanakan minumanku, Hyung?" rengeknya, "Aku butuh minumanku~"
"Hentikan, Mark. Kau sudah sangat mabuk."
"Aku tidak mabuk!"
"Kau iya, Seo. Aku sudah menelepon Hendery. Dia akan menjemputmu sebentar lagi."
"Hyung!"
Sebelum Bangchan sempat menyahut lagi, seorang wanita mendekat. Tubuhnya langsing dan mungil. Polesan make up menghiasi wajahnya yang terbilang cantik.
Dan Bangchan tahu betul apa tujuannya.
Hela nafas kasar lagi-lagi menjadi pelampiasan.
Mark yang mabuk itu payah.
Selain menjadi pemarah, ia juga mudah tergoda.
Entah sudah berapa kali ia maupun Hendery harus menjemput Mark dari hotel-hotel tanpa nama tahun kemarin.
Intensitasnya berkurang tahun ini. Karena itulah ia cukup terkejut saat Mark muncul di hadapannya dan memesan segelas martini.
"Hey! Jauhkan tanganmu dari kekasihku!"
"Iya! Kau! Wanita aneh berbaju merah di sana!"
Hendery dan kedatangannya yang tidak pernah tidak heboh.
"Hai, Tampan."
Bangchan merotasikan manik almondnya. Menatap malas pada sosok berambut pirang yang muncul di hadapan.
"Ada apa dengan pakaianmu?"
"Pakaianku? Tidak ada yang aneh dengan pakaianku."
Bukankah set piama berbahan satin lembut itu adalah kostum yang aneh untuk dipakai di tempat seperti ini?
"Terima kasih, Hyung. Aku akan mengantarnya pulang."
Lengan Mark dilingkarkan di pundak. Tampak kepayahan karena tubuh Hendery jauh lebih kecil daripada si pemuda asal Kanada.
"Hey, Dery."
"Ya?"
"Jangan terlalu terbiasa dengan peranmu."
Senyum tipis diulas, "Tenang saja, Hyung. Aku masih sangat mencintai adik iparku."
Ruangan rasanya berbayang ketika Mark membuka mata. Jarinya ada dua puluh?
Ah, masih sepuluh.
Kemejanya sudah digantikan oleh kaos putih polos. Seisi kamar dipenuhi harum parfum mahal milik Hendery.
Kebiasaan.
Senang sekali menyemprotkan parfum dimana-mana setiap kali Mark memuntahkan isi perutnya kala mabuk.
Ia melangkah menuju dapur. Ditarik oleh aroma masakan yang menguar dari sana.
Semangkuk sup pereda mabuk tersaji di atas meja. Dilengkapi secarik kertas di samping.
Bocah nakal,
Hendery meneleponku semalam. Kau ke klub lagi?
Makanlah. Taeyong yang masak.Seo Johnny
Mark terkekeh. Ia belum sempat memeriksa ponselnya.
Mungkin sudah rusak akibat banyaknya pesan dan telepon masuk dari Johnny dan Taeyong.
Satu sendok sup menyapa lidahnya.
Mark tertegun.
"Bagaimana, Hyung? Enak? Aku yang masak."
"Jangan bohong, Chan. Itu kan Nana yang masak."
"Hentikan. Tadi Lele yang beli di restoran sebelah, kok."
"Benar kata Jisung. Aku yang beli."
"Kalian ini diam dulu! Kasihan Mark Hyung! Dia baru sadar dari mabuknya!"
"Kau juga berisik, Injun-ah."
Surai pirangnya layu, mengiringi rasa sesak yang menimpa dadanya.
Mark rindu rumahnya.