M

801 75 2
                                    

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya Mark raungkan. Teredam oleh sorakan senang yang dikumandangkan teman-temannya.

Ia lulus.

Mark lulus.

Mengenakan topi toganya dengan bangga. Bersama jubah wisuda yang membalut tubuhnya dengan begitu apik.

"Aku lulus, Hendery! Aku lulus!"

"Kita lulus, Bodoh! Kau anggap aku apa?"

"Oh? Kukira kau tidak lulus."

Hendery spontan memukul wajah Mark dengan buket bunga yang dibawanya.

Buket ia dapatkan dari sang adik ipar yang datang mewakili adiknya. Berdiri menjulang di sisinya.

"Mark, kan?"

"Iya. Kau...?"

"Lucas. Hendery banyak bercerita tentangmu."

"Kau kekasihnya?"

Hendery tersenyum pahit. Seandainya benar begitu.

"Dia adik iparku, Mark."

"Sudah kuduga. Aneh juga jika pria sepertinya berpasangan denganmu."

Lucas tertawa lepas. Pundak Hendery dijadikan tumpuan.

Seandainya dia tahu bagaimana efek tindakannya para jantung Hendery yang malang.

"Selamat atas kelulusan kalian," ujar Lucas, "Kau akhirnya menyusulku ya, Kakak Ipar."

Kekehan Hendery mengudara. Diiringi sebuah pukulan yang tepat mendarat di punggung lebar milik Lucas.

"Kabari aku jika kau ingin kembali. Akan kupesankan tiketnya."

"Oke. Hati-hati di jalan!"

Keduanya berlalu lebih dulu setelah Hendery memeluk Mark sebagai tanda perpisahan.

Digantikan oleh kedatangan Johnny dan Taeyong.

Tubuh Mark melayang di udara. Dasar Johnny dan kekuatannya yang berlebihan.

"Selamat, Mark."

"Terima kasih, Taeyong Hyung."

"Aku tunggu hasil karyamu, Dude," tubuhnya terangkat sekali lagi.

Johnny bangga. Jelas sekali dari bibirnya yanh ditarik membentuk lengkungan yang agak terlalu lebar.

"Kau keberatan merayakannya dengan desert baru yang kubuat, Mark?"

Mark menggeleng, menarik Taeyong agar bergabung di tengah-tengah mereka. Pria mungil itu terjepit, namun hanya tawa yang terdengar.

"Lalu kau akan ke mana setelah ini?"

"Aku? Aku akan pulang."





























"Ingatkan aku lagi mengapa kita ada di sini?"

"Karena kakakku pulang, Jeno-ya. Kau ini pikun atau bagaimana?"

"Haechan benar. Jaemin, kau harus membawa suamimu ke rumah sakit."

"Aku setuju, Renjun-ah. Aku pikir ia menderita alzheimer."

"Efek menikah di usia muda, Hyung."

"Yak! Zhong Chenle!"

Kelimanya sibuk berdebat. Di sisi lain, Jisung mengawasi dalam diam.

Diam dalam artian sibuk juga. Menghabiskan roti yang ia bawa sebagai bekal karena tak sempat sarapan.

Tugas kuliahnya baru berhasil diselesaikan tiga jam yang lalu. Seandainya Chenle tidak membombardir ponselnya dengan panggilan, mungkin saat ini ia sudah lelap.

Tapi Jisung masih ingin hidup. Setidaknya ia tidak ingin mati di tangan kekasihnya sendiri.

"Haechan-ah, kau yakin jam penerbangannya benar?"

Sudah kesekian kalinya pertanyaan itu keluar dari bibir Renjun.

"Benar, kok. Jam sepuluh."

"Lho? Bukan jam delapan?"

"Siapa juga yang bilang jam delapan?"

Jaemin mengiyakan. Haechan memang menginfokan pada mereka bahwa pesawatnya akan mendarat pukul sepuluh tepat.

"Lho? Kata Jisung jam delapan!"

Semua mata tertuju pada Jisung yang kini bersembunyi di balik Chenle. Niatnya mengerjai Renjun tampaknya tak akan berakhir baik.

"Hehehehe. Peace, Hyung."

"Park Jisung! Kau—"

"HAECHAN-AAAAAAHHHH!!!"

Figur kakak Haechan muncul di sana. Tampak mencolok di tengah-tengah penumpang lainnya yang terkesan monoton.

Kaus hijau neonnya sangat menyilaukan mata.

"HENDERY HYUUUUUNGGGG!"

Sepasang kakak beradik itu saling bertukar rindu. Memeluk satu sama lain dengan erat.

"Aku rindu! Hyung pergi terlalu lama."

"Kau juga jahat. Bagaimana bisa kau hanya mengirim suamimu, hm?"

"Aku sibuk, Hyung," Haechan mengecup singkat bibir Lucas, "Thank you, Darl."

"No problem, Love."

Dan Hendery dengan santai mulai membuka salah satu tasnya.

Oleh-oleh dibagikan di sana. Di tengah-tengah gerbang arrival dan menjadi pusat perhatian banyak orang.

Sayang, mereka terlalu bahagia untuk sekedar peduli.

"Hendery, lain kali jang—Lee Jeno?"

Sosok yang baru datang dipandang dengan tatap kosong.

Ada jeda selama beberapa saat. Masih sibuk mencerna informasi yang mendadak mengisi kepala.

"Mark Hyung?" Renjun jadi yang pertama.

Lalu tangis Chenle pecah begitu saja.

"Kau kemana saja, Hyung?"

"Astaga, apa kau baik-baik saja?"

"Bagaimana kabarmu?"

"Mengapa tidak mengabari kami?"

"Aku tidak sedang bermimpi, kan?"

"Kau kembali!"

Telinganya penuh dan dadanya sesak karena dipeluk terlalu erat.

Tapi senyumnya tak bisa luntur. Semakin melebar dan melebar.

Mark pulang.

Akhirnya ia pulang.

"Aku pulang."

Dan Mark ikut bergabung bersama tangis Chenle. Meluapkan rindu yang sudah ia tahan selama ini.

Usahanya empat tahun ini terbayar lunas.




Karena sekarang Mark sudah di bersama mereka,

rumahnya.





■end■










Sumpah, aku merasa cara aku mengakhiri cerita ini ambigu banget.

Niatnya mau bikin adegan haru biru, tapi nggak berhasil kutuangin lewat tulisan.

Anyway, untuk siapapun yang lagi emosional karena NCT Dream akhirnya OT7 lagi, aku harap kalian enjoy cerita ini.

Untuk yang udah baca, terima kasih banyak ya^^

Home [NCT Dream]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang