1

12.6K 852 21
                                    

Lengkung langit memerah, perlahan meredup lalu hilang menyisakan gelap. Angin dingin berdesir mengusap lengan telanjangku. Entah sudah berapa puluh purnama berteman sepi, hanya bisa merindu, meredam dalam tangis setiap kali mengingat wajah tegas yang dulu selalu menjadi pengantar tidurku.

Aku memejamkan mata sesaat, sebelum melangkah mundur, menutup pintu balkon dan terduduk di pinggir tempat tidur. Wajah dalam bingkai foto di atas nakas itu masih sama. Gagah dan tampan.

Seharusnya aku membuang saja foto itu. Seharusnya aku melenyapkan setiap kisah bersamanya. Tapi rasa tidak rela itu masih ada. Dan mungkin itu pula yang membuatku bertahan dengan kesendirianku.

Pintu kamarku terbuka, menyembulkan sosok periang yang sangat bertolak belakang dengan sifatku. Dia Mahanani, sepupu dari pihak Papa. Papaku dan papanya kakak adik.

"Sudah selesai ritualnya?" selorohnya menyindirku. Ia menyebut apa yang kulakukan setiap sore menjelang malam di balkon sebagai ritual.

"Ranu sudah balik?" Aku balik bertanya.

"Sudah. Baru saja," Nani menghempaskan diri di sebelahku.

Hening. Aku meraih novel yang baru kemarin kubeli, membuka tepat dimana pembatas buku kuletakkan kemarin. Membaca lanjutan cerita yang belum sempat kuselesaikan.

"Kapan lo mau move on, Ren?"

Aku melirik Nani yang kini berbaring sambil menatap langit-langit kamar.

"Lo tau, gue juga pengen move on, tapi belum bisa," aku memanyunkan bibirku.

"Bukan belum bisa. Tapi lo memang gak mau move on," tuduh Nani.

Aku terpekur. Mungkin dia benar.

"Sampai kapan lo terus menunggu Garin? Dia menghilang sudah hampir lima tahun. Hidup lo terlalu berharga daripada sekedar menunggu ketidak pastian, Ren!"

Mataku menerawang jauh. Saat-saat kebersamaan dulu begitu membahagiakan. Seandainya ada mesin waktu, aku ingin kembali ke masa itu, dan aku tidak akan melepasnya pergi,

"Gue hanya menuruti apa kata hati gue, Nan," gumamku perlahan.

"Gue berasa diteror Om dan Tante. Nyaris tiap hari mereka meminta gue ngebujuk lo agar mau menerima perjodohan yang mereka atur. Mereka khawatir sama lo," kata Nina beranjak berdiri.

"Gue gak bisa, Nin. Kenapa gak ada yang bisa ngerti?"

"Lo yang gak ngerti! Mereka tuh sayang banget sama lo. Apa lo pikir mereka gak prihatin lihat hidup lo sekarang?"

Aku mengerjap. Apakah aku sedurhaka itu? Bertahan dengan kekeras kepalaanku, membiarkan mereka mengkhawatirkanku? Tapi menerima laki-laki lain dalam hidupku? Apakah aku sanggup?

.

=====

.

Malam ini langit bertabur bintang. Kemarin Mama dan Papa menyambut kepulanganku dengan suka cita. Setelah seminggu lebih aku merenungkan ucapan Mahanani, aku memutuskan untuk tidak lagi bersikap egois. Mungkin memang sudah saatnya aku menyerah dan berhenti berharap.

Kuiyakan ajakan Mama dan Papa menghadiri undangan makan malam bersama dengan kolega Papa. Saat ini aku sudah siap dan duduk manis dalam mobil, sambil sesekali menimpali obrolan Mama dan Papa, selebihnya aku menyibukkan diri dengan melihat-lihat sosial media di ponselku.

Restaurant yang kami datangi terlihat cukup nyaman. Penerangan yang cukup, ditambah pelayanan yang ramah. Seorang pramusaji mengantarkan kami ke sebuah ruangan yang sudah dipesan oleh kolega Papa tersebut.

Kami disambut dengan keramahan kolega Papa. Di sana terdapat sepasang suami istri paruh baya, dengan dua pemuda yang kuduga adalah putra-putra mereka.

"Ini Karenina, putri kami satu-satunya," Papa memperkenalkanku.

Dengan sopan aku menjabat tangan mereka satu persatu, kemudian duduk di antara Mama dan Papa. Mereka memperkenalkan kedua putra mereka, Albian dan Abiyasa.

Pembicaraan Papa dan koleganya terdengar wajar dan akrab. Kami menikmati hidangan dengan kedua orang tua yang mendominasi pembicaraan. Albian dan Abiyasa sesekali berbincang dan berbisik, aku tidak mendengar dan tidak berusaha untuk mencuri dengar. Aku larut dalam pembicaraan melalui chat dengan Mahanani dan Rae, teman sekantorku.

Suara tawa riuh membuatku mendongak. Kulihat wajah cerah Papa, Mama dan tamunya. Mama mengusap kepalaku.

"Jadi, malam ini sekalian kita anggap lamaran ya," ucap laki-laki seusia Papa itu tersenyum lebar.

"Tentu. Rasanya sudah tidak sabar melihat mereka menikah," sambut Mama antusias, diamini oleh Papa dengan anggukan mantap.

Ada apa? Lamaran apa? Siapa yang dilamar?

"Nah, Karen besok biar dijemput Bian saja. Sekalian membiasakan mereka dekat. Bukan begitu Bian?" kali ini Tante yang merupakan ibu dari dua laki-laki muda itu angkat bicara.

Laki-laki bernama Albian itu tersenyum dan mengangguk patuh.

Aku menatap Mama dengan tanya.

"Kami sudah menentukan tanggal pernikahan kalian, Ren. Malam ini kita anggap sebagai lamaran sekaligus pertunanganmu dengan Albian."

Aku termangu. Wajah bahagia dan penuh harap Mama dan Papa membuatku tidak tega menyuarakan protesku.

Apakah kali ini aku harus pasrah menerima jalan yang mereka buat untukku? Apakah hatiku bisa menerima nama selain Garin? Kenapa rasanya dadaku terasa sesak?

"Ayo berdiri Ren, jangan malu-malu," Mama berbisik sambil mendorongku berdiri. Albian dan mamanya sudah berdiri di hadapanku dengan sebuah cincin di tangannya.

Dengan enggan aku berdiri. Mama Albian memakaikanku seuntai kalung berbandul bintang, lalu Mama mengangkat tanganku dan menyodorkannya pada Albian yang langsung menyematkan cincin ke jariku.

Semua berlalu begitu cepat. Secepat detak dadaku yang terasa sesak dengan keinginan memberontak yang begitu kuat, namun tak bisa kulakukan.

.

.

.

Bersambung...

.

.

Cerita baru nih...

Semoga suka yaa...

Paired by DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang