"Lima tahun yang lalu, terjadi kecelakaan di jalan raya dekat bandara. Garin adalah satu-satunya yang selamat dari enam orang korban. Namun saat itu lukanya sangat parah. Ia koma. Ia membutuhkan waktu dua tahun untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Namun tidak dengan ingatannya. Menurut dokter, kepalanya terbentur sangat keras, sehingga ia mengalami amnesia disosiatif. Permanen. Aku tau identitasnya dari dompet di sakunya, juga ponsel miliknya yang sudah retak, namun untung masih bisa digunakan. Aku menghubungi orang yang terakhir ia hubungi, yang ternyata adalah ayahnya," Liana meneguk minumannya.
Kami duduk berhadapan, sementara Garin dan Albian duduk di meja yang lain, agak jauh dari kami.
"Maaf, aku tidak tau kalau Garin mempunyai kekasih. Aku merawat Garin. Bahkan ketika ia sudah diperbolehkan pulang dan rawat jalan. Uhm... aku perawat di rumah sakit itu," jelasnya saat wajahku menunjukkan tanya.
Aku mengangguk mengerti. Namun tetap diam menunggu Liana melanjutkan ceritanya.
"Kami menjadi dekat sejak itu. Hingga Garin melamarku dan kami menikah satu tahun yang lalu," katanya menutup penjelasannya.
Aku menarik nafas lalu menunduk. Rasanya aku ingin menjerit sekeras-kerasnya. Garin yang malang. Aku memang belum pernah dipertemukan Garin dengan ayahnya. Kami pacaran dua tahun lamanya sebelum ia pergi untuk meneruskan pendidikannya, mengambil S2. Dan sejak itu aku kehilangan kontak dengannya.
Sentuhan lembut di punggung tanganku membuatku mengangkat wajah. Liana dengan senyum teduhnya membuat aku meyakini satu hal. Garin sudah bahagia bersamanya.
Aku menarik nafas dalam-dalam, memberikan ruang dalam hatiku yang sesak untuk menerima oksigen baru. Rasanya sangat tidak rela. Aku bahkan masih mencintainya. Tapi secepat aku menemukannya lagi, secepat itu pula aku membuat keputusan. Keputusan yang sangat berat kuambil. Karena bagaimana aku akan mempertahankan Garin jika cintanya untukku sudah tidak ada? Ia bahkan sudah mempunyai istri yang sudah terbukti mencintainya dengan tulus, bahkan mereka akan mempunyai bayi.
"Terima kasih sudah merawat Garin. Menyelamatkannya dan menjadi sandaran hidupnya. Dia laki-laki terbaik yang pernah kukenal. Semoga kalian bahagia," kataku kemudian, menghapus air mataku yang masih mengalir deras. Aku menarik nafas lagi, menetralisir hatiku agar bisa menerima kenyataan yang menghantamku begitu hebat.
"Kata pria itu, kamu calon istrinya. Apa benar?" tanya Liana melirik Albian yang tengah berbincang dengan Garin.
"Kami dijodohkan," sahutku malas.
"Kulihat dia laki-laki baik. Dia sabar sekali menunggu kita di sini. Ia terlihat khawatir melihatmu menangis," Liana memandang Albian lagi, menilai, lalu kembali melihatku.
Aku tersenyum tipis. Senyum yang kurasakan sangat pahit dan aku pasrah. Mungkin memang Tuhan menunjukkan jalan takdirku bukan bersama Garin seberapapun aku menginginkan.
"Kurasa, aku sudah bisa merelakan diri untuk dinikahi Albian. Semua sudah jelas. Tidak ada lagi ganjalan dalam hatiku. Kuharap, aku bisa menjalani masa depanku dengan kebahagiaan yang sama seperti kalian," aku sudah mampu tersenyum tulus. Meskipun masih terasa pedih, namun kebaikan Liana pada Garin memang luar biasa. Dan wanita itu layak mendapatkan pria lembut seperti Garin.
"Kalian akan jauh lebih bahagia," senyum Liana membuat senyumku makin lebar.
"Sudah berapa bulan?" tanyaku menunjuk perut bumcitnya.
"Lima bulan. Garin selalu menolak ketika kuajak melihat dan membeli perlengkapan bayi. Tapi ia mau menemaniku. Dia bilang, tunggu sampai kami tau pasti jenis kelamin bayi kami, baru membeli perlengkapannya. Cuma yaah... kamu tau, aku selalu tergoda melihat baju-baju mungil yang dipasang di etalase," cengirnya tertawa.
![](https://img.wattpad.com/cover/246315968-288-k579744.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Paired by Destiny
Short StoryKarenina kehilangan cinta. Garin-nya menghilang begitu saja. Meninggalkannya tanpa ada kabar berita. Hati Karenina makin terombang-ambing ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk menjodohkannya dengan Albian, putra dari rekan bisnis Papanya. Apaka...