Hari-hari kembali kumulai seperti biasa. Mahanani yang heboh waktu mendengar berita aku akan menikah, masih saja tetap heboh.Albian dua kali datang untuk mengajakku pergi. Yang pertama untuk makan malam bersama keluarganya, yang kedua untuk menemaninya ke ulang tahun rekan bisnis Om Rangga, Papa Albian.
Aku masih berdiri di balkon kamar, menikmati senja entah yang keberapa. Menatap lengkung langit kemerahan yang lambat laun menggelap dan hitam.
"Lo sudah mau nikah, masih saja melakukan ritual begini," celetuk Mahanani.
Aku berbalik masuk dan menutup pintu balkon.
"Entahlah. Sepertinya aku gak akan bisa move on," gumamku duduk di pinggir tempat tidur dan mengambil sebingkai foto yang masih bertengger manis di nakas dekat tempat tidurku. Memandangi wajah yang dulu selalu memperlakukanku dengan sangat lembut.
'Di mana kamu sekarang? Kapan kamu kembali? Apa kamu tau kalau aku mulai susah mengingat bagaimana manisnya senyummu? Apa kamu tidak takut jika aku mulai lupa bagaimana lembutnya tatapanmu padaku?'
Kubelai penuh perasaan foto lelaki tampan yang tengah tersenyum itu. Tiba-tiba saja aku merasakan pipiku basah. Ya ampun, kenapa aku masih juga menangis?
"Seharusnya lo singkirin foto itu, ganti dengan foto calon suami lo," celetukan Nani membuatku cepat-cepat menghapus air mata.
"Kalau saja lo tau gimana menyebalkannya Albian, lo gak akan ngomong seperti itu," dengusku. Kuletakkan lagi foto Garin ke tempatnya semula.
"Jangan lupa, gue pernah bertemu dan ngobrol sama Albian. Dan gue rasa dia tidak seperti yang lo bilang," sanggah Nani.
"Kenapa gak lo aja yang menikah dengannya?" gerutuku kesal.
"Karena pertama, bukan gue yang gak punya pacar. Ranu mau gue kemanain kalo gue sama Albian. Kedua, bukan gue yang jadi putrinya Om Bram. Ketiga, orang tua gue gak ngebet pengen nikahin anaknya cepet-cepet. Keempat, Mamanya Albian demennya punya menantu lo," cengirnya lalu terkekeh.
Ia memekik kecil ketika terkena lemparan bantalku.
"Gue belum seakrab itu sampai Mama Albian demen sama gue!" ketusku.
"Hahaha... ya udah, berarti Albian yang ngebet sama lo," tawa Nani melempar kembali bantal yang malang itu padaku.
"Ngebet dari mana? Laki-laki otoriter yang gak tau gimana memperlakukan perempuan seperti dia memang bisa punya perasaan?" cibirku.
"Wah parah. Lo gak boleh membandingkan masa lalu dan masa depan!"
"Kalau masa depannya lebih baik, tentu gue gak akan membandingkan dengan masa lalu," sergahku tak mau kalah.
"Ck! Susah ya ngomong sama orang yang gak bisa move on. Sampai kapanpun, selama lo masih mengharapkan Garin, semua laki-laki yang mendekati lo akan terlihat tidak sesempurna Garin di mata lo," decak Nani. Ia lalu berdiri dan ngeloyor keluar dari kamarku tanpa basa basi atau pamit. Dasar sinting tuh anak!
.
=====
.
Sepertinya mataku bermasalah. Berkali-kali aku mengerjap, tetap saja bayangan itu tidak hilang. Di sana, kira-kira dua puluh meter dari tempatku berdiri, berdiri sosok yang selama ini sangat kurindukan.
Perlahan aku mendekati sosok itu, mencoba meyakinkan diriku bahwa itu benar Garin. Mengabaikan Albian yang sejak tadi masih sibuk memilih dan mencoba beberapa jam tangan. Ia menjemputku sore tadi dan memintaku, ah lebih tepatnya memaksaku menemaninya mencari jam tangan untuk hadiah ulang tahun koleganya.
Laki-laki masa lalu itu masih nampak gagah dan tampan. Tidak ada yang berubah selain ia menjadi makin matang dan dewasa.
"Ga-rin?" ragu-ragu kusentuh lengannya. Dan ia berbalik.
Ia memandangku bingung.
"Kamu...."
"Ya, aku Karen. Karenina-"
"Maaf, tapi apakah kita saling kenal?"
Seperti tersengat listrik ribuan volt, aku tergugu. Lima tahun aku menunggu dalam ketidak kepastian, dan kini ia bahkan tidak mengenaliku sama sekali? Permainan apa ini?
"Garin, aku Karen! Bukankah kita-"
"Sayang," seorang wanita cantik menghampiri dan merangkul lengan Garin. Mereka nampak mesra.
"Oh, Sweetheart, sudah selesai?" Garin menoleh dan tersenyum . Matanya menatap perempuan itu dengan penuh cinta. Tatapan yang dulu pernah ia tujukan padaku.
"Seharusnya kamu ikut memilih, Sayang. Bajunya lucu-lucu. Tapi, siapa dia?" perempuan itu bertanya sedikit memelankan suara di akhir kalimat.
"Oh, aku tidak tau, Sweetheart. Dia tiba-tiba datang dan menyapaku," sahutnya kebingungan.
Dadaku sesak. Garin melupakanku. Benar-benar lupa. Air mataku mengalir begitu saja. Bagaimana ia bisa lupa kalau ia masih memiliki janji yang belum ia penuhi padaku? Janji untuk saling membahagiakan. Rasanya sangat sakit.
"Garin, seharusnya kamu tidak perlu berlaku seperti ini padaku! Kalau kamu sudah tidak mencintaiku, katakan saja. Bukan seperti ini. Lima tahun aku menunggumu, tanpa kabar berita! Aku.... aku ttidak menyangka kamu tega melakukan ini padaku!" aku terluka. Terlebih ketika pandanganku membentur perut wanita itu. Membuncit. Apakah wanita itu hamil? Dengan Garin? Ya Tuhan, betapa bodohnya aku menunggunya selama ini.
"Maaf, tapi-" Garin tampak kebingungan.
Wanita itu melepaskan pelukannya perlahan, lalu membisikkan sesuatu. Garin mengangguk.
"Maaf, bisa kita bicara?" pintanya lembut, menatapku dengan senyum teduh.
Aku baru saja membuka mulut hendak menjawab ketika Albian datang dan langsung menggamit pinggangku.
"Ada apa ini?" tanyanya bingung melihat ketegangan di antara kami.
"Oh, dia siapanya anda?" tanya wanita itu.
"Dia calon istri saya," sahut Albian tanpa ragu. Namun kernyitan di dahinya menampakkan ketidak sukaan saat melihat aku menangis.
Wanita itu memandangku bingung.
"Tapi kamu bilang-"
"Maaf, tapi Garin dan aku-" tangisku pecah. Astaga, begini rasanya patah hati. Sakitnya sampai merasuk ke seluruh tulang dan aliran darah.
"Ah, aku Liana. Boleh kita bicara berdua?" tanyanya tersenyum lembut. Sorot matanya yang teduh membuatku tidak mampu mengeluarkan ungkapan penolakan.
Aku bingung. Rasanya tidak kuat menerima kenyataan bahwa lima tahun aku menunggu dan mendapati kenyataan Garin sudah bukan milikku lagi. Ia melupakanku dengan mudah dan mengganti posisiku dengan perempuan lain yang bahkan saat ini tengah mengandung.
"Please," Liana memohon.
"Kita ke cafe itu saja," usul Albian menunjuk asal salah satu cafe yang berada di situ.
Liana tersenyum dan mengangguk. Ia menggamit Garin dan berjalan di depan, sementara Albian dan aku mengikuti di belakang mereka.
.
.
.
Bersambung...
.
.
.
Masih ada yang belum tidur?
Ada obat kangen niih...
😆😆😆

KAMU SEDANG MEMBACA
Paired by Destiny
Short StoryKarenina kehilangan cinta. Garin-nya menghilang begitu saja. Meninggalkannya tanpa ada kabar berita. Hati Karenina makin terombang-ambing ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk menjodohkannya dengan Albian, putra dari rekan bisnis Papanya. Apaka...