Seperti tanpa jiwa, aku terhanyut arus deras yang dibuat kedua orang tuaku. Kesana kemari hanya sekedar raga tanpa keinginan. Pun tanggal pernikahan yang mereka sudah tentukan, tidak membuatku berselera untuk menyangkal.Juga seperti saat ini, dimana aku hanya duduk diam disamping Albian yang tengah fokus dengan jalan raya di depannya. Semua mereka yang mengatur. Aku layaknya boneka hidup yang tidak perlu dipertimbangkan perasaannya.
Alunan lagu instrumental balad mengisi ruang hening mobil SUV yang kutumpangi. Sepanjang aku mengenal Albian, dia adalah laki-laki pendiam. Tidak ada pembicaraan panjang lebar.
Lalu mobil berbelok memasuki pelataran sebuah rumah makan.
"Kita makan siang dulu," perkataan singkat itu tidak memerlukan jawabanku.
Tanpa menjawab, aku hanya mengikutinya membuka seat belt dan membuka pintu, turun dari mobil tinggi ini dengan sedikit melompat. Albian diam melihatku, lalu berbalik melangkah menuju pintu masuk. Aku mengekorinya.
Dalam hati aku mendesah pelan. Laki-laki itu memesan makanan tanpa bertanya apakah aku suka menu itu atau tidak.
Aku bukan seorang pemilih dalam hal makanan, tetapi tentu menawarkan adalah sebuah etika yang wajib dijalani. Apalagi kami belum akrab sama sekali. Dan yang terjadi saat ini membuatku berpikir, hubungan pernikahan seperti apa yang akan kujalani nanti?
Hatiku benar-benar memberontak tidak terima. Dulu, Garin selalu bersikap manis padaku. Ia selalu mengedepankan kepentinganku. Bersikap gentle layaknya lelaki pada wanitanya. Itu juga yang membuatku sulit untuk melupakannya.
Aku mengerjap. Tidak seharusnya aku membandingkan laki-laki di depanku ini dengan Garin. Tapi sepertinya terlalu berat menghadapi hari-hari mendatang bersamanya. Banyak yang hal bertentangan di antara kami berdua.
"Albian," aku tidak tahan lagi. Semua yang aku jalani sejak perjodohan itu dipaksakan padaku, tidak pernah satupun yang mengerti dan mengedepankan aku. Semua tentang Albian. Selera, keinginan, kepantasan, dan kepentingan. Semua harus berpusat pada Albian. Sementara aku, seperti sebuah pelengkap perhiasan yang akan dikenakan Albian dalam kehidupannya di hari-hari mendatang.
"Ya?"
Laki-laki di hadapanku ini mengerutkan dahi.
"Kenapa lo menerima begitu saja perjodohan ini?"
Kerutan di dahi Albian makin dalam.
"Lo? Apa kamu tidak bisa memanggil dengan lebih sopan?" Ia menaikkan alisnya tinggi-tinggi, sama seperti nada suaranya yang terdengar sangat heran.
Aku terhenyak. Astaga! Sabar, Karen. Sabar. Dia maunya ber-aku-kamu.
"Ehm... oke, aku ulangi, kenapa kamu mau menerima perjodohan ini?"
"Usia mungkin. Mama dan Papaku menginginkan cucu. Semua saudara Mama dan Papa sudah punya cucu dan tinggal mereka yang belum," jawabannya sukses membuatku melongo.
Pria di depanku ini apa sejenis laki-laki yang plin plan dan tidak punya pendirian sendiri? Atau tipe anak mama yang apa-apa menurut orang tuanya? Alasan yang ia berikan benar-benar menggelikan!
"Dan aku tidak mau kamu menunda kehamilan setelah kita menikah," sambungnya makin membuatku terperangah.
Rasanya ketidak sukaanku padanya semakin menjadi.
"Apakah kamu tidak punya seseorang yang kamu suka untuk kamu jadikan istri?" tanyaku sinis.
"Mamaku sepertinya menyukaimu. Kedua orang tuamu juga menyukaiku. Jadi apa salahnya menuruti mereka?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Paired by Destiny
Short StoryKarenina kehilangan cinta. Garin-nya menghilang begitu saja. Meninggalkannya tanpa ada kabar berita. Hati Karenina makin terombang-ambing ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk menjodohkannya dengan Albian, putra dari rekan bisnis Papanya. Apaka...