"AKSAAAAA!!"
Yang dipanggil terlonjak kaget. Suasana sunyi membuat teriakan itu menggema. Ia menoleh dan mendapati salah seorang teman berlari ke arahnya dengan wajah pucat.
"Lo kenapa, Ren? Kayak abis liat setan aja."
Rendi yang masih tersengal mengangguk-angguk. "Emanghh iyaahh... Anjir, jantung gue," ucapnya sembari memegang dada.
Aksa mengedarkan pandangannya kemudian tersenyum pada Rendi. "Cuma mau ngajak kenalan kok, Ren. Enggak aneh-aneh."
"Enggak mau gue, Sa. Mukanya serem, anjir!"
"Terus kalo dia cakep, lo mau kenalan gitu??" tanya Aksa sembari berjalan meninggalkan Rendi.
"Ya, enggak juga." Rendi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menyusul langkah Aksa yang semakin menjauh. "Dia ngikutin gue gak, Sa?"
"Iye, mau ngajakin elu main pas pulang sekolah."
Rendi, yang memang dasarnya penakut, melingkarkan lengannya pada tubuh Aksa sangat erat. "Sa, suruh pergi, please! Gue gak mau, ya, berurusan sama lelembut."
Aksa tertawa melihat temannya ketakutan. Wajah panik Rendi adalah hiburan tersendiri bagi remaja lelaki itu.
"Dia kagak mau tuh, Ren," ujarnya diakhiri dengan tawa. Membuat Rendi semakin merapatkan tubuh pada Aksa.
Akasha atau yang lebih sering disapa Aksa itu memang remaja laki-laki jahil yang kelebihan satu indra. Iya, dia punya enam indra. Orang-orang sih menyebutnya indigo.
Berbagai jenis makhluk halus sudah pernah ia lihat. Aksa bilang, mereka memang ada di sekitar kita. Menempati setiap sudut ruang kosong yang ada dengan berbagai macam bentuk. Aksa sendiri sampai bosan melihat makhluk dengan wujud yang aneh-aneh.
Bagi Aksa—yang sudah biasa lihat—wujud mereka itu aneh, bukan seram. Menurutnya manusia lebih seram dari pada makhluk halus.
Walau pun jahil, dia tetap anak baik. Suka menolong. Tidak hanya manusia, teman ghaibnya pun kerap ia bantu. Teman sepergaulan remaja laki-laki itu sudah tidak heran dengan Aksa yang suka berbicara dengan angin atau tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat mereka bergidik.
"Bercanda lo gak lucu, ya, jing!" umpat Rendi. "Masih pagi, nyet!"
Aksa masih saja tertawa. Ia menatap makhluk yang sejak tadi mengikuti Rendi. "Mbak, jangan ganggu temen saya yang ini, ya? Dia orangnya penakut banget. Gak kasian? Tuh, udah pucet anaknya. Bentar lagi ngompol kayaknya."
Si hantu hanya diam, menatap Rendi yang tengah bersembunyi di balik badan Aksa. Wajahnya pucat dengan rambut hitam kusam yang menjuntai. Setengah wajah yang hancur membuat bola matanya tidak berada di tempat yang seharusnya. Darah terus menetes mengenai dress putih kumal selutut yang dia kenakan.
"Mbak, namanya siapa?" tanya Aksa. Jujur, dia sering melihat makhluk itu di area parkiran motor. Terkadang menganggu siswa yang hendak pulang. Baru kali ini Aksa melihat makhluk tersebut mengikuti siswa hingga keluar area parkir. Temannya sendiri pula.
"Hazel," jawab si hantu lirih. Sangat lirih. Saking lirihnya Aksa nyaris tidak mendengar apa yang dikatakan hantu tersebut.
"Hazel?" tanya Aksa memastikan.
Si hantu mengangguk pelan. "Namanya cakep, ya. Umurnya berapa, Mbak?" tanya Aksa lagi. Dia memang sengaja, ingin menjahili temannya yang tengah ketakutan.
"Sa, anyinglah! Malah diajak ngobrol," eluh Rendi yang sejak tadi berusaha menenangkan diri. Namun tak kunjung tenang karena ulah Aksa.
"Diem, lu!" hardik Aksa. "Betewe, namanya Hazel, cakep, ye? Tapi sayang, umurnya udah dua abad."
YOU ARE READING
Occult [ON HOLD]
ParanormalSesama makhluk hidup itu harus saling tolong menolong. Tapi, Aksa lebih suka menolong makhluk yang sudah mati. "Wadaw, apa gak serem, Sa?" "Enggak. FYI, elo semua lebih serem dari pada mereka." © Cattleyeaa, 2020.