Setelah beberapa jam menghabiskan waktu di area sekolah, kini bel pulang berbunyi semua siswa tertawa gembira seraya keluar dari kelasnya, pulang dan bermain itulah yang mereka tunggu-tunggu, tak khayal mereka mencari kesenangan dimasa kecilnya, walaupun ada beberapa perlakuan mereka yang nakal dan mengusik yang lainya tapi bagi mereka itu bukan masalah, mereka akan melakukannya demi secarik tawa yang memuaskan jiwa kecilnya.
Semua siswa mulai pulang ke rumah mereka masing-masing. Mereka akan menikmati permainan atau tidur siang yang menyenangkan, tapi berbeda dengan segerombolan anak cowok yang nakal, mereka berkumpul sepulang sekolah tanpa pulang terlebih dahulu, mereka menikmati kesenangan dengan cara yang salah.
Hari ini mentari yang berpancar cerah terasa menyilaukan, deretan awan merambat pelan di langit yang tenang, hembusan anila yang hangat membelai lembut wajah cantik gadis kecil berkulit putih cerah, bermata bulat berkilau yang diterpa cahaya, dengan gaya rambut berkepang dua, gadis kecil itu sedang menunggu sang mama di dekat gerbang sekolahnya, entah mengapa hari ini sang mama tak kunjung menjemputnya.
Di tengah ia menunggu jemputan mamanya, ada segerombolan anak cowok yang menghampirinya, segerombolan anak nakal mengganggu gadis mungil itu.
“Hei, kamu gadis yang jelek!” ejek salah satu anak dari segerombolan itu, yang kemudian diiringi tawa dari teman-teman yang lainnya.
gadis yang lemah, ia tak bisa melakukan apa-apa selain menangis, tapi semangkin gadis itu menangis gerombolan cowok nakal itu semangkin menjadi dan lebih menggagunya.
“Dasar cengeng!” kata anak nakal itu bersamaan.
“Hahaha ... cengeng!” Mereka berhasil tertawa dengan cara mereka yang salah, mereka seperti mendapatkan kepuasan setelah mengusik anak lain.
Rama anak laki-laki yang baru keluar dari gerbang dengan menaiki sepedanya terhenti, ia melihat segerombolan anak nakal yang mengganggu gadis kecil, sehingga gadis itu menangis, Rama yang tak suka dengan keributan akhirnya menghampiri keramaian itu dan mengusir segerombolan anak nakal itu.
“Pergi!” pintanya kepada anak-anak nakal itu.
“Kenapa kita harus pergi!” balas salah satu anak nakal itu dengan nada yang tinggi.
“Jangan pernah ganggu anak-anak lain lagi, kalau kalian masih mengganggunya aku akan laporin kalian ke kepala sekolah!” ancam Rama.
Ancaman yang asal ia lontarkan sukses membuat takut gerombolan anak nakal itu, anak-anak itu berlari terbirit-birit setelah mendengar ancaman dari Rama.
Setelah anak nakal itu pergi, gadis itu masih menutup wajahnya dan tangisnya tak kunjung henti.
“Hei berhenti nangisnya, anak-anak nakal itu sudah pergi,” ucap Rama mencoba menenangkannya.
“Aku takut...” Gadis itu malah mengencangkan tangisannya.
“Hei buka tanganmu dan lihat mereka sudah pergi,” kata Rama, perlahan gadis itu membuka tangannya dan melihat kondisi sekitar, didapati hanya cowok itu yang ada di hadapannya, tapi sedetik kemudian gadis itu menangis lagi.
“Kenapa kamu menangis lagi?” tanya Rama dengan raut muka kebingungan.
“Aku masih takut...,” kata gadis itu di tengah isak tangisnya, Rama akhirnya mengajaknya duduk disalah satu bangku dekat situ.
“Kita duduk di bangku itu dulu yuk,” ajak Rama, ia menggandeng tangan gadis itu.
Setelah mereka duduk, tangisan gadis itu tak kunjung berhenti, “Benar kata anak-anak nakal tadi, kamu cengeng,” ucap Rama.
Gadis itu mendengar ucapan Rama kemudian ia mengusap air matanya dan mengucapkan kalimat dengan nada yang tegas, “Aku sudah kelas dua, aku sudah besar, aku bukan anak yang cengeng!”
“Jangan menangis lagi, aku sudah nolongin kamu dari anak-anak nakal tadi,” ucap Rama, kemudian ia tersenyum melihat gadis di hadapannya sudah tak menangis lagi.
“Makasih ya kamu udah nolongin aku,” kata gadis itu dengan mengusap sisa air matanya.
“Kenalin namaku Rama, aku kelas tiga,” ucapnya memperkenalkan diri sembari menyodorkan tangannya untuk berkenalan.
“Nama ku Rania,” kata gadis kecil itu kemudian mereka berjabat tangan berkenalan.
“Sahabat!” seru Rania senang, kini ia menampakkan senyuman manisnya, tapi dibalas dengan raut muka kebingungan oleh Rama.
“Sekarang kita sahabat,” ujar Rania memperjelas ucapannya tadi.
“Oke, sahabat!” ucap Rama menyetujui ucapan gadis itu.
“Rama aku ingin kita buat janji,” pinta Rania diiringi senyum manisnya.
“Janji?” tanya Rama.
“Janji kalau kamu jadi sahabat terbaikku, dan janji untuk kita terus bermain bersama.” Gadis itu mengajukan jari kelingkingnya untuk membuat janji, perjanjian yang sangat erat dengan masa kecil, pikirannya tak akan jauh-jauh dari permainan.
Anak cowok itu menerima dan mengingkarkan jari kelingking miliknya ke jari kecil sahabat barunya itu, “Aku akan jadi sahabat terbaik yang selalu di sisi kamu untuk jagain kamu, dan kita juga akan selalu bermain sepuasnya menciptakan cerita bersama.”
“Janji?” tanya gadis itu riang.
“Janji!” ujar Rama menyetujui.
Ada tawa yang tercipta dari masing-masing anak kecil itu, seakan tak ada beban yang menghantam tubuh kecilnya, tawa memberi kebahagiaan yang akan mereka simpan dalam memori ingatan keduanya, mereka menyuarakan tawanya di tengah gemerlap kejamnya dunia.
Rama melepas tas dari bahunya, kemudian ia berkutat melepaskan gantungan kunci yang mengantung di resleting tasnya dengan tangan kecilnya ia bersusah payah melepaskannya, akhirnya gantungan kunci itu terlepas.
“Ini buat Kamu,” ucap Rama sembari menyodorkan gantungan kunci yang tadi ia lepas dari tasnya.
“Buat apa?” tanya Rania polos dengan raut muka kebingungan.
“Ini sebagai tanda persahabatan kita,” ucapnya dengan senyuman yang belum pudar dari bibir kecilnya.
Rania menerima gantungan itu dengan senyum yang semangkin lebar, “Wah....”
“Kamu suka?” tanya Rama.
“Iya aku suka banget, terima kasih banyak ya,” ucap Rania.
“Sama-sama, jaga baik-baik ya gantungan itu, karena gantungan itu gantungan favorit aku,” kata Rama.
“Siap, aku pasti jaga dengan baik,” kata Rania dengan penuh keyakinan bisa menjaga gantungan itu dengan baik.
Kemudian Rania merogoh kantung sakunya, ia mendapati sisa permen yang tadi sempat ia beli waktu istirahat, kini permen itu hanya tersisa dua bungkus.
“Ini buat kamu,” ucap Rania memberikan kedua permennya.
“Permen karamel?” tanya Rama.
“Iya aku sangat suka permen ini, Rania hanya punya ini sebagai tanda persahabatan kita,” kata Rania sambil memperhatikan bungkusan dua permen tersebut.
Rama mengambil satu bungkus permen, kemudian gadis itu menatap Rama dengan raut muka bertannya.
“Ini satu untuk aku, dan satu lagi untuk kamu,” ujarnya lalu dibalas Rania dengan senyum cantiknya.
Mereka menikmati permen tersebut bersama, beberapa menit kemudian mama Rania datang menjemputnya.
“Mama....” Rania menghampiri mamanya dan langsung memeluknya.
“Rania, maaf mama telat jemput kamu,” kata sang mama.
“Ma, kenalin ini sahabat baru Rania.” Rania memperkenalkan Rama pada mamanya.
“Selamat siang tan, nama saya Rama,” ujarnya memperkenalkan diri.
“Iya, kenalin nama tante, tante Iren mamanya Rania,” balasnya ramah.
“Ma, dia sahabat yang baik, Rama nolongin Rania waktu Rania diganggu sama anak-anak nakal,” adu Rania kepada mamanya.
“Makasih banyak ya udah bantuin Rania,” ucap mama Rania, karena Rama telah membantu anaknya.
“Sama-sama, tan,” balasnya.
“Kamu nunggu jemputan?” tanya Rania.
“Aku bawa sepeda,” jawabnya, “Rania kamu sudah dijemput, kalau begitu Rama pamit pulang,” lanjutnya berpamitan.
“iya bye-bye!” ujar Rania saat mereka berpisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonis
Teen Fiction"Jalinan kita hanya teman, namun kuharap kau adalah masa depan." Kata orang tidak ada persahabatan yang murni antara lelaki dan perempuan. Lalu bagaimana dengan Rania dan Rama yang sudah menjalin persahabatan sejak kecil? Adakah perasaan aneh yang m...