[3] UNEXPECTED GUESS

239 99 297
                                    

"Bisa tukar kamar?"

"Hah?" Pertanyaan itu mengejutkan Jin. Spontan dia menubruk pintu di sisinya untuk menopangkan tubuhnya yang kehilangan daya setelah bergelut dengan ketakutan. Kepalanya terangkat untuk memastikan sumber suara itu. Ketakutan setengah matinya mendadak tak berarti. Jantungnya mungkin sudah menggelinding di tanah hingga dia tak lagi merasakan debarannya.

"Bisa tukar kamar?" suara berat yang terdengar seperti gumaman itu kembali terdengar. Tubuhnya melangkah utuh ke keremangan cahaya.

Sesosok pria tinggi besar berdiri tepat di depan Jin. Rambutnya gondrongnya mencapai bahu. Janggut lebat tumbuh di dagu dan rahangnya. Begitu juga kumisnya. Jin pasti menganggap sosok itu genderuwo jika tidak melihat wajahnya yang... membuat Jin melupakan poster Kim Seok Jin di atas tempat tidurnya. Kulit pria itu putih pucat. Hidungnya tinggi. Sepasang matanya yang cekung dinaungi alis tebal. Tulang pipinya yang tinggi dan rahangnya yang tegas membayang di balik janggutnya. Sulit menakar umur pria ini, tetapi Jin yakin, orang itu pasti lebih tua darinya.

"Melamun?"

Gumaman itu menyeret ketersimaan Jin. "Eh? Tukar kamar?" Jin menggosok pelipis dengan bingung.

"Kamarku di sebelah." Pria itu menunjuk ruangan dengan dagu.

"Nggak salah?" Kerutan terbentuk di dahi Jin. Kamar sebelah sempat ditawarkan Sruti tadi siang. Jin tak mampu membayar. Itu kamar terbaik di lantai lima, tetapi tidak ada orang yang sudi membayar mahal untuk menaiki tangga sampai ke lantai lima. Sruti bilang, lantai ini hanya disewa beberapa orang. Namun, sepanjang berkeliling lantai lima tadi, Jin tidak mendapati satu pun pintu terbuka atau alas kaki di depannya. Bisa jadi Sruti hanya membual supaya Jin tidak takut dan tetap menyewa meski uang yang dimilikinya tidak seberapa. Dasar nenek tua sialan, kalau hujan tidak turun, dia pasti menyerahkan kamar ini berapa pun aku membayarnya daripada kosong dan dihuni makhluk-makhluk tak jelas.

"Aku tukar. Sekarang."

Jin melipat tangan. Keberaniannya telah kembali. Balok kayu dalam genggamannya, dia yakin berguna untuk pria ngaco di depannya ini. Jin mengendus-endus dengan suara keras. "Kamu mabuk ya?" tanyanya. Melihat suaranya yang berat dan mirip gumaman, Jin menilai pria ini pasti mabuk karena tengah malam menggedor kamar orang untuk meminta bertukar kamar. "Kamu gedor kamar orang malam-malam dan minta tukar kamar? Mabuk apa gila?"

Tangan Jin mengayun untuk menutup pintu, tetapi tertahan. Jin menoleh dan mendapati lengan panjang berbulu yang tampak kokoh menahan pintunya.

"Ada banyak kamar lain yang kosong, kenapa harus menggangguku?"

"Aku suka kamar ini." Lagi, suara berat itu terdengar seperti gumaman kalau bukan orang berkumur. "Letaknya di sudut, lantai tertinggi, sepi, sunyi, lembab, gelap, dan—"

"Dan paling murah lagi," potong Jin. "Maaf, tapi aku sudah lebih dulu mendapatkan kamar murah ini. Jadi silakan pergi." Dia berusaha lebih keras untuk menutup pintu, tetapi pria mabuk kalau bukan gila di depannya tetap berkeras. Jin sudah memamerkan balok kayu ketika pria itu bicara lagi.

"Aku sudah membayar lunas kamar itu dan tidak perlu kamu bayar selisihnya." Dengan begitu, pria itu melemparkan ransel hitam besarnya ke celah pintu. Pintu dan tempat tidur berjarak sekitar dua setengah meter dan pria itu tampak tidak kesulitan melemparnya. Ranselnya mendarat tepat di atas poster Jin BTS.

Jin menjerit mendapati wajah idolanya penyok oleh ransel pria aneh itu. Dia berlari menuju tempat tidur, dengan begitu pintu tidak lagi dijaga. Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar, sementara Jin meratapi posternya yang berkerut. "Apa yang kamu lakukan?!" jerit Jin nyaris histeris.

"Tukar kamar," ulang pria itu santai. Alih-alih duduk di kursi, dia duduk di meja sebelah lemari. "Jangan teriak-teriak, nanti manusia pikir ada yang bertindak asusila."

Jin mengernyitkan kening. Selain cara bicara pria ini mirip orang mabuk, struktur kalimat barusan juga aneh. Apa yang aneh? Jin mendekat pada pria itu, kembali mengendus untuk memastikan tidak tercium bau alcohol atau matanya memerah karena mabuk. Jin berjengit, mata itu memang memerah. Bukan memerah di bagian sklera seperti orang mabuk kebanyakan, melainkan cokelat kemerahan di bagian irisnya. "Kamu..."

Pria itu menggoyangkan kunci di depan mata Jin agar perempuan itu berhenti menelitinya. "Keluar sekarang. Aku mau tidur."

"Apa aku bilang mau?" kata Jin sambil menggaruk lengannya yang gatal.

"Yakin sanggup bertahan di sini?" Mata pria itu tertuju pada lengan Jin yang memerah gatal. "Cepatlah jangan banyak basi-basi."

Jin mengernyit. Sekitar setahun tinggal di Korea, Jin yakin Bahasa Indonesia belum berubah strukturnya. Pria ini benar aneh. Lebih aneh lagi ketika pria itu bangkit dari kursi, kemudian menyeret koper dan dirinya keluar pintu.

oOo

Begitu memastikan Jin keluar dari kamar yang diincarnya, pria itu melipat tangan menatap sekeliling ruangan. Tanpa melihat, dia menarik ranselnya dari atas tempat tidur dan membuat poster Kim Seok Jin lebih masai. Dia berjalan menuju lemari dalam langkah panjangnya yang perlahan.

Begitu pintu dibuka, matanya langsung tertuju kepada laci. Terkunci tetapi kuncinya menggantung di sana. Betapa bodohnya perempuan muda itu. Dia lalu membuka kunci dan mengangkat kotak yang tersimpan di sana tanpa ragu. Potongan kertas tua dan sebuah kantong yang menarik hatinya.

Sudut bibir pria itu tertarik ke atas ketika dia merogoh isinya. Tidak ada yang berarti atau berharga kecuali cuilan kertas, kartu-kartu identitas dan foto buram. Lembar demi lembar ditelitinya dengan saksama, hingga kemudian tangan kokoh itu gemetar. Cepat dia selipkan kembali benda-benda itu ke dalam kantong. Dikemasnya kembali semuanya ke dalam kotak berukir.

Pria itu berdiri di tengah ruangan dengan gagah. Tangannya berlipat. Ditegapkan tubuhnya, seolah dia tengah menunjukkan wibawa dan kejemawaan. Dia menatap ke lampu yang terus berderik di atas kepalanya. Lampu itu mengedip sebelum akhirnya mati. Ruangan gelap sama sekali. Kegelapan yang pekat, disusul hawa dingin menyergap.

"Keluar!" desis pria itu pada kegelapan di sekelilingnya.

Angin semilir berpusar di ruangan. Aroma pengap dan sedikit anyir mendadak muncul entah dari mana.

"Berani-beraninya?"

Kegelapan dalam ruangan itu semakin pekat. Bahkan, keremangan cahaya yang berusaha menembus lewat celah pintu dan jendela kini binasa. Ruangan gelap itu seolah dilapisi bayangan hitam raksasa yang semakin lama semakin membesar dan melingkupi seluruh ruangan.

"Menentangku?" Bibir pria itu menukik naik. Tawa lirihnya penuh ancaman. "Ini urusanku. Pergi dan jangan ganggu dia lagi," desisnya lirih. "Kecuali kamu mau mati."

oOo

Gen & GrimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang