[4] ACQUAINTANCESHIP

278 95 402
                                    

Jin menggeliat dengan puas. Tidurnya lelap sekali. Terima kasih kepada pria mabuk setengah gila yang bertukar kamar dengannya. Baru kali ini ada orang gila ada faedahnya. Jin tersenyum pada guling yang dipeluknya dengan nyaman.

Kamar ini tidak bisa disebut sempurna. Namun, tempat ini jauh lebih manusiawi daripada kamar di sudut lantai ini. Sangat jauh lebih manusiawi. Jin tidak lagi merasa gatal di kulitnya. Aroma karat tidak menguar begitu kuat. Jin bahkan semalam menyempatkan diri untuk mandi lagi. Kamar ini punya ruangan lebih besar, kasur yang lebih tebal, jendela besar untuk cahaya masuk, juga lampu kamar yang lebih terang. Bahkan, di sudut ruangan dekat jendela terdapat sebuah dapur kecil dengan kompor gas satu tungku. Pokoknya, kamar ini adalah keajaiban.

"Dasar nenek tua, mentang-mentang penyewanya tampan, dia kasih fasilitas sempurna. Lihat saja, seprei dan selimut wangi ini." Jin menghirup udara lewat selimut tua yang wangi. Seprei tua yang ditidurinya, meski warnanya sudah memudar, pasti dicuci dengan baik. Bahannya yang adem dan rapuh tetap menyenangkan di kulit daripada kamar di sudut itu.

Jin bangun sambil merenggangkan tubuhnya. Begitu terduduk, bayangannya jatuh di cermin seberang ruangan. "Apa semua kamar di tempat ini punya kaca buram mengerikan seperti itu?" Meski bicara seperti itu, Jin tetap menepuk pipinya dengan puas. "Yang penting tampangku tetap cantik kayak Son Ye-Jin."

Lalu tiba-tiba dia teringat pria di kamarnya. Bagaimana keadaannya?

oOo

Selepas mandi, Jin mengetuk pintu kamar sudut. Hanya ketukan perlahan, tetapi ternyata gema membuat ketukan itu lebih kencang dari seharusnya.

"Apa dia kerja?" Jin mengurut kening. "Pekerjaan apa yang mengizinkan penampilannya seram begitu? Preman pasar?"

Tangan Jin kembali mengetuk. Kali ini lebih keras.

"Pak? Halo? Om? Paman? Ahjussi? Oppa?" Jin berjengit jijik. "Opa? Pak? Mas? Kang? Mang? Bang? Mister? Halo, masih hidupkah Anda bermalam di sana?"

Tidak ada sahutan.

Jin mendesah. Dia menoleh ke jam tangannya. Pukul sepuluh. Kemarin, sambil mencari tempat tinggal, Jin mampir ke sebuah minimarket yang menempelkan sebuah pengumuman bahwa mereka tengah mencari pramuniaga. Jin berjanji akan mengirimkan lamarannya hari ini. Dia harus bergegas mencari tempat untuk mencetak CV dan surat lamaran sebelum jam makan siang.

Hanya CV dan surat lamaran. Tidak diperlukan identitas atau kartu pengenal. Itu yang membuat Jin senang sekali dan tak sabar mencoba melamar di sana. Terutama setelah salah satu pramuniaga di sana berbaik hati untuk membocorkan info bahwa hari ini, selepas jam makan siang, manajer toko akan datang. Jin bisa mencoba peruntungan siapa tahu bisa bertemu dan berkesempatan interview langsung dengannya.

Untuk terakhir kalinya, Jin mengetuk pintu sebelum pergi. "Terima kasih pertukaran tempatnya. Aku berutang budi. Nanti aku datang lagi. Oke, Mister, Pak, Mas, Om, Ahjussi, Bang, Kang, siapalah nama kamu. Katakan apa pun yang kamu butuhkan. Jangan sungkan-sungkan minta tolong padaku. Oke?" Lalu tangannya melambai pada pintu yang tertutup sambil mengucapkan salam perpisahan.

oOo

Jin merentangkan tangan di halaman rusun. Tidak peduli orang-orang yang masih berusaha merobohkan pohon beringin memandanginya, dia tengah bahagia sekarang. Keberuntungan berturut-turut berpihak kepadanya. Setelah kamar yang ditukar, dia juga mendapatkan pekerjaan. Benar kata pepatah, daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Daripada jauh-jauh ke Korea, Jin tetap tak dapat dimiliki seutuhnya, lebih baik di Indonesia sambil lihatin dia di layar kaca.

"Eh, nggak gitu juga." Jin menggaruk rambutnya yang tak lagi gatal. Kakinya berderap cepat menaiki tangga hingga lantai lima. Dia punya dua bungkus mi instan untuk perayaan kecil ini. Satu untuknya, satu untuk pria itu. Namanya juga belum gajian, yang penting kan, niat baiknya.

Gen & GrimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang