Part 3: Masjid

5 2 1
                                        

Dena: Rindu Aan
~~~~~~~~~~~~~~~

"Berikan sesuatu yang terbaik walaupun diri ini masih belum baik."

Wo-oh, oh-oh

Báilame como si fuera la última vez
Y enséñame ese pasito que no sé
Un besito bien suavecito, bebé
Taki taki
Taki taki, rumba

Wo-oh, oh-oh
Hi Music Hi Flow

Bola mata Dena membola kala deringan lagu 'Taki-Taki' itu menggema di seluruh ruangan masjid. Dena hampir kehilangan kekhusyukan saat salam terakhir. Untung saja imam masjid mengucapkan salam, maka berakhirlah salat magrib hari itu.

Dengan cepat tangan Dena meraih ponselnya yang sudah tidak berdering lagi. "Ah, sial! Kenapa harus berdering di sini, ih!" umpat Dena dalam hati. Berjam-jam ia di rumah Rindu tak ada seorang pun yang hendak menghubunginya, kenapa harus di masjid pula. Dena juga lupa mengheningkan nada dering itu. Ah, dia sangat malu.

Dengan kecepatan kilat, Dena bangkit lalu berlalu keluar masjid masih dengan mukena yang ia kenakan. Malunya lagi, Dena salat di saf terdepan, otomatis ia harus melewati orang-orang yang kebetulan banyak salat di sini, tanpa ada pintu lain sebagai jalan keluar.

Hatinya ragu melangkah, dengan terniat acuh saja ia memberanikan diri melangkah, namun niatan itu hancur lebur seketika. Saat kakinya mulai satu langkahan, bola mata hitam pekat itu tak bisa ia tahan untuk tidak bekerja. Tanpa sengaja ia berotasi mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan masjid, ia beradu pandang pada beberapa orang yang menatap dengan sinis. Dena hanya menyengir seolah tanpa dosa sedikit pun. Ia akan tetap melewati orang-orang itu, walau bagaimanapun. "Bodoamat!" gumamnya sangat pelan.

Hembusan napas kasar berulang kali Dena lakukan. "Huh, dasar netizen! Matanya gak berfungsi dengan baik!" caci Dena sangat kesal. Ia menatap lekat ponselnya, penasaran siapa gerangan yang menelpon di masjid seperti ini. Untung hanya 1 panggil, kalau berkali-kali sejak rakaat pertama bisa bahaya.

Dengan cepat jarinya mengetuk ponsel dan menampilkan wallpaper anime. Sebenarnya Dena tidak suka menonton anime, hanya saja ia sangat suka visual art anime itu. Cantik dan sangat menggemaskan, mirip sekali dengan gaya dirinya. Ia mendapatkan dengan cuma-cuma, ya, di pinteres. Dena suka sekali menyimpan koleksi berbagai jenis vektor art dan animasi.

"Bapak!" pekik Dena saat bola matanya melihat dengan jelas nama yang tertera di sana. Ada 15 pesan masuk dan 1 panggilan tak terjawab.

"Ya Allah, aku lupa!" jeda Dena seraya menepuk dahinya kasar, "gimana ini, bapak pasti nyariin aku! Dasar, Dena, dodol!" umpatnya pada diri sendiri.

Dengan gerakan lincah Dena membuka satu persatu pesan bapaknya. Membacanya lalu mengucapkan syukur beberapa kali. Rupanya bapak Dena tidak bisa menjemput, ia ada rapat mendadak dan diharuskan hadir tepat waktu. Maklum saja, bapak Dena adalah seorang pembina salah satu yayasan pesantren di kota ini.

Jangan tanya seperti apa bapaknya Dena itu sehingga bisa menjadi pembina pesantren. Tentu saja ia seorang paham agama dan berwawasan luas. Lalu mengapa dengan anaknya? Tidak ada mirip sama sekali kan?

Ya, betul. Bapak Dena sebut saja Pak Ilham, tidak pernah memaksakan putri satu-satunya itu untuk begini, begitu, menuruti kemauannya ini dan itu. Tidak! Pak Ilham tidak pernah memaksa putrinya itu, ia sudah mulai dewasa dan seharusnya bisa mengerti dengan baik. Tugas Pak Ilham sebagai bapak hanya melakukan yang terbaik dan menasihati saja, tinggal anaknya saja yang mau mendengar dan mempraktikkan.

Mungkin juga karena tanpa sosok ibu yang membesarkan. Makanya tidak begitu menyerap dengan baik. Terpenting, Dena tidak pernah meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslim, salat dan mengaji tak pernah ia tinggalkan. Barang hanya seayat, yang penting setiap hari.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dena: Rindu Aan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang