Jika tak baik-baik saja, mari katakan. Sebab diam akan terasa lebih menyakitkan.
(Kaluna Rafaila)
Kalau sudah jadi mantan ya sudah, lupakan. Mudah, kan?
Terkutuklah bagi mereka yang sering mengatakan bahwa move on itu mudah. Mereka bilang, sama halnya seperti membalikkan telapak tangan. Omong kosong! Percayalah, melupakan itu susah!
"Kamu nggak salah, Na. Kita memang nggak bisa sama-sama lagi."
Kepalaku sakit setiap mengingat kembali penuturan darinya tiga hari lalu. Jika ditanya apakah aku menangis saat itu, jawabannya adalah iya. Aku tak ingin menyembunyikan perasaanku yang kala itu benar-benar hancur. Aku payah dalam berbohong.
Hari itu, aku menangis. Ya, menangis dengan tenang dalam pelukan seorang pria yang sudah menemaniku hampir lima tahun ini. Seorang pria yang telah berhasil meluluh lantakkan hatiku menjadi berkeping pada hari itu.
"Jadi, kalian beneran selesai?"
Aku mengangkat kepala, menatap ke arah Ema yang tengah duduk tepat di depanku. Matanya menatap ke arahku menyiratkan rasa penasaran yang dalam, sedangkan tangannya terlihat saling mengait, mendukung perannya untuk saat ini sebagai teman curhatku, pendengar yang baik. Kepalaku bergerak naik turun mengiyakan apa yang baru saja ia tanyakan.
"Dan lo setuju gitu aja tanpa penjelasan?" Aku mengangguk untuk yang kedua kali. Ema menghela napas kasar, menarik tubuhnya kembali hingga menempel pada punggung kursi. Matanya terlempar ke arah kendaraan yang terlihat lalu lalang di jalanan.
"Gue masih nggak paham gimana bisa seorang Kaluna Rafaila mendadak jadi bego gini. Lima tahun lo bareng sama Jevan dan kelihatan bahagia. But now, what happened, Na?! Ada masalah apa di antara kalian berdua sampai Jevan bisa sekejam itu?"
Masalah ya? Selama hampir lima tahun aku menjalin hubungan dengan Jevan, kami tak pernah yang namanya bertengkar hebat.
Hubungan kami cenderung santai. Kalaupun ada masalah, pastilah kami bicarakan setenang mungkin. Jika Jevan salah, ia yang minta maaf, begitupun sebaliknya.
Dalam hubungan kami selalu berusaha untuk saling terbuka. Mengatakan apa yang memang sepatutnya dibicarakan. Jadi, mustahil jika dikatakan selesainya hubunganku dan Jevan disebabkan suatu masalah di antara kita.
"Selama ini kita baik-baik aja, Ma. Nggak pernah ribut, paling banter cuma ribut karena cemburu. Udah, gitu doang." Aku berucap sembari menarik ingatan. Untuk kali ini Ema tak menanggapi jawabanku. Gadis itu lebih memilih menyeruput cokelat panas cenderung hangat yang ku hidangkan sekitar setengah jam lalu.
"Gue nggak akan tanya-tanya lagi, itu urusan lo berdua. Kalaupun Jevan serius ngomong putus sama lo, ya berarti lo juga harus bisa relain dia dan melanjutkan hidup dengan normal. Patah hati boleh, tapi jangan mengurung diri di kamar terus, Na. Kasihan nyokap lo dari kemaren minta tolong ke gue buat bujukin lo keluar."
"Gue nggak mengurung diri ya, cuma berusaha buat menyamankan diri." Aku melontarkan pembelaan sebab perkataan Ema yang terkesan menyudutkan, walaupun aku tak sepenuhnya mengelak.
"Terserah lo." Ema berujar, tak ambil pusing terkait pembelaanku. Dan pada detik selanjutnya, kami berdua terdiam.
Aku dan Ema kembali menikmati suasana di mana matahari sebentar lagi akan tenggelam, lalu menampilkan parade yang akan dilakukan bintang-bintang malam ini.
Sementara itu, ingatanku menerawang pada saat dimana Jevan mengantarku pulang untuk yang terakhir kalinya. Manik hitamnya terlihat sendu, menimbulkan pertanyaan yang anehnya aku sendiri tak tahu itu apa.
Hari itu, Jevan yang aku banggakan, perlahan kabur dimakan persimpangan jalan. Punggung kesayanganku menghilang, meninggalkan aku yang termenung di pintu pagar hitam rumah dengan hati penuh tekanan.
- - - - -
Nb : Inspirasi didapatkan secara tiba-tiba, selepas senandung yang berasal dari Eaj dituntaskan.
Selamat membaca!Jangan jadi sider!
Tertanda,
Enra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guess Not
General FictionYang berakhir saling merindukan, namun enggan bersama. Katanya baik-baik saja, padahal luka terasa jauh lebih nyata.