Selepas hilang, senantiasa berjarak? Tak harus, kan?
(Kaluna Rafaila)
"Mbak, tolong anterin opor ayam ke kossan Jevan ya. Adekmu susah banget disuruhnya." Terlihat Mama berdiri di depan pintu kamarku dengan wadah tupperware di tangan.
"Untuk apa, Ma?" Aku menatap Mama dengan air muka bingung. Sejujurnya kepalaku sakit, sebab di pagi hari yang cerah ini, aku dipaksa mengingat kembali satu nama yang sepatutnya dilupakan.
"Kok untuk apa sih? Ya untuk dimakan lah! Mama sengaja buat buat opor ayam, rencananya mau nyuruh Jevannya aja yang ke rumah, tapi udah seminggu ini nggak kelihatan. Sibuk banget kayaknya, pasti dia telat makan terus."
Jawaban yang Mama terangkan dengan panjang lebar, malah menambah kadar sakit di kepalaku. Yang benar saja, pasca putus dengan Jevan, kami berdua tak pernah saling berkabar lagi. Ya aku pikir, untuk apa? Aku dan Jevan sudah selesai. Itu artinya tak ada hal lain yang bisa dibicarakan, kecuali jika itu memang benar-benar penting.
Untuk saat ini, aku masih merasa canggung jikalau diharuskan untuk berhadapan dengan Jevan ataupun sekedar chatting semata.
Perihal Mama yang memintaku untuk mengantarkan makanan, pastilah berdampak besar pada hatiku. Ia akan sakit lagi, setelah usahaku untuk melupa.
"Una belum mandi, Ma." Aku mengelak dengan alasan yang menurutku cukup masuk akal.
"Ya makanya mandi! Anak gadis jam segini belum mandi itu ngapain aja? Udah, nggak usah ikutan adekmu ya, Mbak. Cukup satu aja anak Mama yang bandel, Mbak nggak usah." Skakmat! Aku tak bisa mengelak lagi jika sudah begini jadinya.
"Jangan banyak alasan! Opornya Mama letak di bawah. Cepetan!" Mama berlalu meninggalkan pintu kamarku, masih dengan ocehan yang terdengar sama-samar.
Jika sudah begini, mau bagaimana lagi? Mau tak mau, rela tak rela aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi guna bersiap, tak lupa juga hati yang mewanti.
-----
Gojek yang ku tumpangi berhenti tepat di depan bangunan yang didominasi warna monokrom. Pada bagian depan bangunan terdapat taman kecil yang di isi dengan berbagai macam jenis bunga warna-warni tertata rapi.
Ah, agaknya Bu Rafidah baru saja menata ulang halaman kossan miliknya, sebab terakhir kali aku menginjakkan kaki di sini, pot-pot itu belum terisi bunga sama sekali.
Puas mengagumi, aku memutar badan mengarah pada pengemudi ojek online yang mengantarku.
"Tunggu sebentar ya, Pak. Saya cuma sebentar kok." Terlihat bapak pengemudi mengangguk sembari tersenyum. Lantas, tanpa pikir panjang aku melangkahkan kaki memasuki pekaranagn bangunan yang baru saja aku kagumi.
Sesampainya di depan pintu bangunan, aku tak langsung mengetuk sebab ragu yang tiba-tiba saja datang menyerang. Sejenak, kepalaku bertanya, 'bagaimana jika nanti aku tak mampu menguasai diri di depan Jevan?', juga monolog lain yang aku sendiri tak tahu bagaimana cara menjawabnya.
Lama termenung, secara tiba-tiba pintu di hadapanku terbuka. Menampilkan sosok pria berwajah mungil dengan mangkuk sereal di tangan.
"Mbak Una? Nyariin bang Jev ya? Kenapa nggak langsung mas-" sosok yang tadinya menampilkan wajah kebingungan, kini berganti menjadi sendu sarat akan penyesalan.
"Maaf Mbak, gue beneran lupa."
"It's okay Der, nggak masalah." Aku tersenyum lantas menepuk pundak Dera pelan.
Ya, sosok pira berwajah mungil di depanku ini bernama Samudera Prawira atau yang kerap dipanggil dengan nama Dera. Enggan berlama-lama terjebak dengan suasana tak menyenangkan, aku lantas bersuara.
"Jevannya ada Der? Ini ada titipan dari Mama buat dia." Aku berusaha tersenyum, tak ingin membuat Dera merasa bersalah.
"Bang Jev lagi ke studio ngambil Haru, Mbak." Haru, yang aku tahu adalah nama dari gitar kesayangan Jevan.
"Kalo gitu, gue nitip ini ya, Der. Tolong sampein ke Jevan dari Mama. Gue balik duluan ya Der, nggak bisa lama-lama soalnya. Salam buat anak-anak Enam Hari yang lain." Aku berujar panjang lebar tanpa membarikan kesempatan untuk Dera berbicara. Lantas memutar badan, berjalan menuju bapak pengemudi ojek online yang masih setia menungguku.
"Mbak Una!"
Suara berat milik Dera menarik atensiku, membuat aku yang nyaris sampai pada tujuan memutar badan kembali. Terlihat senyum Dera yang menyiratkan sesuatu.
"Mbak Una nggak salah kok, cuma memang untuk saat ini keadaan masih belum kondusif. By the way, thank's ya kirimannya. Ntar gue sampein ke bang Jev. Hati-hati Mbak!" setelah mengucapkan sesuatu yang sama sekali tak kumengerti, Dera kembali masuk ke dalam rumah. Menghilang di balik pintu berwarna cokelat, meninggalkan aku dengan segudang pertanyaan baru di kepala.
Sebenarnya, apa yang dimaksud Dera?
-----
Nb : Terkadang, lebih baik untuk tidak tahu sama sekali. Tapi, jikalau begini, bagaimana?
Selamat membaca!Jangan jadi sider!
Tertanda,
Enra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guess Not
Художественная прозаYang berakhir saling merindukan, namun enggan bersama. Katanya baik-baik saja, padahal luka terasa jauh lebih nyata.