BAGIAN EMPAT

7 2 0
                                    

(Jevanka Achasana)

Anna
[Rencananya gue mau cari kado buat ponakan yang ulang tahun.]

Namanya Anna, lengkapnya Egian Annatasya. Perempuan yang namanya senantiasa menampilkan notifikasi chatting selama nyaris dua bulan terakhir ini. Di mana festival musik menjadi tempat pertama kalinya gue dan Anna bertemu. Gue yang hadir sebagai anggota Enam Hari, juga Anna yang hadir sebagai pemandu acara, tanpa sengaja bertukar nomor telpon setelah berkenalan secara singkat di belakang stage.

Pertama kali ketemu Anna, kesan gue terhadap Anna adalah sebagai perempuan yang cerdas juga welcome terhadap orang baru. Anaknya luwes, nggak ada sama sekali kesan canggung di antara kita.

[Gue kosong, mau di temenin?]

Tanpa tedeng aling-aling, gue menawarkan untuk menemani Anna siang ini. Yah, hitung-hitung untuk menghilangkan penat sembari menyambut waktu tidur tiba.

Anna
[Lo bilang tadi mau ke studio.]

Anna tak langsung meng-iyakan tawaran gue. Memang, tadinya gue bilang mau ke studio, tapi bukan buat latihan.

[Gue mampir buat ambil Haru doang.]

Anna
[See U soon then, Jev.]

[See U then, Ann.]

Setelah menekan tombol send, gue beranjak dari teras studio, lalu mengunci pintu. Tanpa ada niatan untuk menunda lagi, kaki gue melangkah ke arah parkiran, menghampiri Atom, vespa hitam mengkilat kesayangan gue setelah Haru tentu saja. Lucu memang, sebab merata benda kesayangan ataupun yang nggak pernah absen selalu gue bawa, memiliki nama yang unik.

Contohnya Haru. Gitar elektrik pemberian paman gue sebagai hadiah tanda kelulusan SMA. Awalnya Haru belum bernama sama sekali, dan setelah gue kenal dengan Una, dari sanalah nama Haru tercetus.

"Barang yang dikasih nama sama pemiliknya itu, menandakan bahwa ia disayang. Gimana sih lo, Jev? Beginian doang musti dikasih tau. Oke, gue putusin nama gitar lo sekarang Haru."

Masih segar ingatan di kepala gue saat sosok Una yang saat itu belum resmi menyandang sebagai pacar Jevan, dengan entengnya memberikan nama tanpa persetujuan gue sebagai pemilik gitar itu sendiri. Una memang selucu itu. Tak jauh berbeda dengan Atom. Motor vespa yang menjadi saksi di mana Una lebih suka diajakin jalan pakai motor daripada mobil.

"Lagak lo ngajakin naik mobil punya bokap, mendingan lo ajakin gue naik si Atom yang jelas-jelas dibeli pakai duit lo sendiri."

Atom, nama yang juga Una berikan pada vespa hitam kesayangan gue. Ya, memang serandom itu sosok Una di mata gue. Ada-ada aja isi kepala yang dia punya untuk diungkapkan pada orang terdekat, dan gue termasuk ke dalamnya.

Gue berusaha menyadarkan diri untuk kembali fokus ke jalanan. Gue belum mau celaka. Mengenyahkan sejenak bayang-bayang Una dari benak gue. Namun, disaat fokus mulai terangkai, ponsel yang gue simpan di saku hoodie bergetar. Menandakan adanya pesan masuk.

Menghidupkan lampu sein, gue memilih untuk menepi, takut kalau-kalau pesan yang gue terima itu penting. Tapi detik-detik selanjutnya, gue menyesal sudah mengambil keputusan secepat itu. Sebab untuk saat ini, fokus gue terpecah belah.

Dera.
[Bang, Mbak Una tadi mampir ke kossan.]

-----

Nb : Beranjak pergi, tak bisa menghilangkan rasa secara pasti. Selamat membaca!

Jangan jadi sider!

Tertanda,
Enra.

Guess NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang