[ii] rindu

473 56 0
                                    

Han Jisung mengenakan baju hangatnya untuk musim gugur. Langit sedang cerah. Namun karena musim gugur sedang menyelimuti lembah Lauterbrunnen, udara terasa dingin.

Ia duduk di teras rumah. Ada dua kursi hasil pahatan dari kayu oak dan satu buah meja yang melingkar di bagian permukaannnya. Sebuah kamera mengisi meja beserta polaroid yang berserakan.

"Aku rasa kau lebih sering meminta film untuk kameramu belakangan ini."

Han melihat Changbin mengisi kursi lainnya dengan dua gelas di masing-masing tangan yang mengepulkan uap lembut.

"Tolong sisihkan ruang untuk gelas-gelas ini," Changbin menunjuk meja dengan dagunya.

Polaroid yang berserak kemudian dirapikan oleh Jisung. Ia membuat tumpukan dari foto-foto yang ia ambil seharian ini.

"Aku mau memotret semua. Jadi setidaknya, aku punya semacam kunci untuk mengingat apa yang pernah aku lihat. Aku tidak mau lupa lagi."

"Aku belum pernah jadi objek fotomu. Kau tidak ingin mengingatku?"

Jisung tertawa mendengar Changin yang cemburu pada semua objek fotonya. Ia ambil kamera polaroid yang menyisakan sekitar lima lembar film. Changbin terlihat sangat tampan dalam lensa kameranya. "Lihatlah ke sini."

"Kau memotoku sekarang? Aku tidak memakai baju yang bagus."

"Kau tetap tampan, Kak, mau pakai atau tidak pakai baju yang bagus. Ayo cepat lihat sini."

"Tapi aku tidak percaya diri dengan tampilanku sekarang."

"Satu, dua, tiga!"

Dan satu lembar film berisi Changbin yang sedang menyesap minum dari gelasnya tercetak. Fotonya sedikit kabur karena Changbin sempat tidak tahu harus bergaya seperti apa.

"Kalau hasilnya jelek, aku minta foto ulang."

Jisung mengabaikan Changbin. Ia pandangi sosok yang sama dalam polaroidnya.

"Apa ada foto malaikat yang pernah kakak ambil?"

Changbin meletakkan gelasnya. "Aku tidak berpikir untuk memoto atau berfoto bersama mereka, Jisung."

"Sulit sekali ya untuk bisa melihat mereka. Bahkan tidak ada foto yang bisa aku lihat."

Changbin bisa merasakan, Jisung, perlahan-lahan, seperti tengah kehilangan sebagian dirinya ketika tak ia temukan sisa kenangan tentang malaikat.

"Jisung," kemudian jeda untuk semua perasaan yang menyerang Changbin ketika melihat Jisung selalu terperosok dalam kebingungan dan kesedihan ketika membahas malaikat yang tidak meninggalkan jejak kenangan, "kau tidak pernah tahu bagaimana harus menyebut perasaanmu setiap kali aku bertanya apa kau sedih."

Jisung memperhatikan dengan baik. Ia selalu suka cara bicara Changbin yang lembut padanya. Changbin selalu memilih kata-katanya dengan sangat baik sehingga semua yang Jisung tangkap adalah kepastian bahwa pemuda itu menyayanginya dengan segenap hati yang ia punya.

"Apa kau lupa jika kau bisa merasakan rindu?"

Changbin mungkin akan menyesal telah memperkenalkan Jisung pada satu kosakata yang pernah Jisung ingat. Tapi Changbin semakin tenggelam dalam ketamakannya untuk menyembunyikan Jisung jika ia terus menghindar untuk menyebutnya.

Jisung meletakkan lembaran film di sebelah kamera. "Rindu?" Ia tatap lekat-lekat kedua mata Changbin hanya untuk menemukan ketakutan yang tersimpan dengan baik.

Yang tidak Changbin ketahui, Jisung selalu ingat akan kata rindu. Ia hanya tak menggunakannya ketika ia memandangi langit yang pernah membuka pintu. 

Karena untuk apa ia merindukan langit?

Jisung merasa terusik.

Dan takut.

sorry [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang