Musim semi tidak lagi terasa hangat untuk Jisung. Ia menghabiskan waktu tanpa tahu apa yang ia tunggu. Ia hanya menanti hari untuk terus berganti sementara hatinya mati rasa.
Changbin masih sama menghujaninya dengan cinta dan kasih sayang. Tapi Jisung tidak menginginkannya lagi.
"Aku akan tunjukkan padamu suatu tempat. Aku berjanji tidak akan menyembunyikanmu lagi. Tapi aku sangat takut kau pergi, Jisung. Aku tidak ingin kau pergi."
Changbin pernah menjanjikannya sebuah tempat di mana tidak ada lagi hal yang akan ia sembunyikan. Jadi saat ini, ia dan Changbin berdiri di sebuah rumah di dekat sebuah air terjun yang dikenal dengan Staubbach.
Rumah yang kecil, sepi dan tua. Dikelilingi oleh dinginnya percikan air yang mengalir dari ketinggian lebih dari dua ratus meter di atas mereka.
"Jisung, kau boleh marah padaku. Tapi jangan pernah pergi tanpa sepatah katapun." Changbin meraih kedua tangan Jisung. "Dari saat salju turun, saat aku memberitahumu pertama kali, aku tidak pernah mendengar suaramu. Aku mohon bicaralah."
Tapi sememohon apapun Changbin, Jisung tidak pernah mengindahkan. Yang ia punya dimatanya adalah rasa terkhianati.
Changbin memasukkan kunci dan memutarnya dengan sedikit paksaan. Begitu kunci terbuka, ia putar handle pintu dan mendorongnya. Ia biarkan Jisung masuk sebagai yang pertama.
Jisung tidak pernah melihat malaikat ketika pintu langit terbuka. Ia tak pernah dapat melihat bagaimana sayap mereka. Jadi saat ia mendapati sepasang sayap putih yang terbentang dengan bersih di hadapannya, ia jatuh terduduk begitu saja.
Jisung tidak bisa menahan tangisnya.
"Kenapa kau lakukan ini padaku? Kenapa kau membuatku kehilangan sayapku!"
Jisung merasa sangat sakit, dibohongi, terkhianati, mengetahui kekasihnyalah yang membuatnya lupa bahwa ia adalah bagian dari langit.
Changbin membiarkan tubuhnya bergetar hebat dalam tangis. Ia merasakan pilu yang tengah mendera Jisung. Ia selalu takut memikirkan hari ini akan tiba.
"Apa kesalahan yang aku buat? Sampai kau berani mengambil sayapku dan membuat seolah-olah aku berasal dari sini."
Jisung beranjak dengan susah payah. Ia mendekati sepasang sayap yang pernah menjadi miliknya, yang pernah menjadi bagian dirinya.
Selama ini, ia melihat hummingbird dengan sayapnya yang tipis namun begitu kuat untuk membawa seluruh berat tubuh mereka. Kini, ia tak perlu lagi mengira-ngira seperti apa sayap malaikat.
Ia sapukan jemarinya pada setiap helai yang bisa ia raih. Sayapnya. Sayap miliknya. Jisung bisa merasakan kehalusan di bawah sentuhannya. Sayapnya, tersusun dari begitu banyak serat yang tampak seperti bulu, bertumpuk begitu rapat dan berajajar rapi di setiap barisnya.
Jisung jatuh terduduk dalam tangisnya yang histeris. Dadanya terasa penuh dan sesak. Ia tidak tahu bagaimana harus mengeluarkan semua luapan emosi yang melandanya dalam satu waktu bersamaan.
"Changbin. Aku tidak pernah ingin tinggal di sini dengan semua kebohonganmu." Jisung terisak dalam ucapannya. "Kenapa kau menahanku!"
Changbin mendekati Jisung. Ia raih sosok yang terluka karena perbuatannya itu dalam peluknya. Tidak ada perlawanan. Tidak ada penolakan.
"Kenapa kau melakukannya!" teriak Jisung.
Changbin menyela isakannya untuk menguntai maaf yang selalu ia simpan, "maafkan keserakahanku Jisung. Aku sangat ingin kau tinggal tanpa pernah tahu aku sudah mengurungmu. Maafkan aku."
Jisung terisak melihat sayatan memanjang pada sayapnya yang berasal dari pelepasan antara punggung dan tulangnya. Kini ia mendapat gambaran yang jelas mengapa ia memiliki sepasang garis memanjang di punggungnya yang sudah terlihat samar, terlihat memudar.
"Seharusnya aku berhenti dan tidak melakukannya, Jisung. Tolong maafkan aku. Aku hanya ingin kau tinggal, untukku sendiri." Changbin mengecup puncak kepala Jisung. "Aku pikir dengan mengambil sayapmu, kau akan tinggal."
Mendengar pengakuannya, Jisung kehilangan semua kata yang pernah ia ucap. Ia kehilangan semua perasaan yang pernah datang padanya.
Jisung berusaha dengan semampu yang ia bisa untuk menghentikan histerianya. Ia terisak hebat dan tersedu-sedu untuk sekedar memasok udara ke dalam pernapasannya. "Changbin, apa kau pernah berpikir jika rasa sayangmu membunuhku?"
Jisung mencengkeram dadanya yang berdenyut nyeri. Ia berusaha bernapas dengan benar untuk berucap, "tidak seharusnya rasa sayang itu membunuh."
[ ]

KAMU SEDANG MEMBACA
sorry [selesai]
Fantasy"Aku hanya menginginkanmu untukku sendiri, Jisung." [•] Seo Changbin x Han Jisung [•] fanfiction [•] bahasa