Laura anfal lagi.
Ia berlarian di pelataran rumag sakit hingga berhenti di depan ruang ICU. Pesan singkat dari Hana membuatnya segera kembali ke rumah sakit. Kalimat singkat yang membuat jantungnya hampir meledak dan emosinya tidak terkontrol.
"Kenapa bisa?" tanya Aidan pada semua orang yang sedang sama paniknya. Pasalnya ia meninggalkan Laura dengan keadaan stabil dan baik-baik saja.
Hana menggeleng singkat. "Tiba-tiba."
Ini memang bukan pertama kalinya keadaan Laura menurun seperti ini. Bahkan sebelumnya, sekitar dua minggu yang lalu gadis itu mengalami hal yang sama. Tiba-tiba anfal.
Aidan memutuskan untuk bersender di sisi pintu, beberapa kali berusaha mengintip dari kaca yang sebenarnya tidak bisa ia intip juga. Setelahnya ia membuang napas lalu memperhatikan Hana yang duduk bersebelahan dengan... Aksa. Entah sejak kapan cowok itu ada di sana, tapi hingga saat ini Aidan masih enggan menanyakannya.
Atensi ketiganya terpusat pada satu arah kala pintu keramat itu berbunyi lalu terbuka. "Gimana, dok?" pertanyaan yang sama, yang dilemparkan ketiganya.
Sang dokter melepaskan masker yang menutupi matanya, nampak sekali wajah lelah dan napas yang terlihat ngos-ngosan. "Sudah enam bulan, dan pasien sama sekali belum menujukkan tanda-tanda akan sadar kembali. Selama ini ia hanya bertahan hidup dari selang-selang yang menyangkut di tubuhnya, dan semakin hari kondisinya tidak semakin membaik," kalimat yang sama yang diucapkan sang dokter sejak 2 bulan yang lalu. "Saya pikir ini saatnya untuk kalian mengikhlaskan Laura."
"Enggak," tolak Aidan mentah-mentah. "Dia masih bernapas, kan? Itu artinya pasien belum mati, dok. Anda gak berhak membiarkan dia pergi."
"Aidan..." lagi. Hana selalu berakhir menjadi orang yang paling realistis di sini. Bukannya ia tidak menyayangi Laura sehingga mau membiarkan gadis itu pergi, tapi mau sampai kapan? Mau sampai kapan Laura harus berada di ketidakpastian seperti ini? Hidup tidak, mati pun tidak. "... Lo gak bisa egois..."
"SIAPA YANG LO BILANG EGOIS?" tanyanya dengan emosi yang kembali meledak-ledak. "Justru gue ngasih dia kesempatan buat hidup, Han. Dia deserve buat tetap hidup."
"Tapi dia kesakitan!"
"Itu bagus kalo dia kesakitan. Kalo dengan rasa sakit itu Laura bisa segera bangun, itu sesuatu yang bagus. Dia bisa kembali hidup karena dia gak mau terus-menerus kesakitan, dan itu—"
Plak.
Satu tamparan melayang di pipi Aidan, membuat semua orang yang ada di situ terkejut. "Lo sadar gak sih apa yang lo omongin?" Hana mendorongnya hingga Aidan mundur beberapa langkah. "Dia kesakitan. Dia gak siuman. Laura mau kita ikhlasin dia untuk pergi. Dan lo, lo gak usah jadi orang yang seakan-akan paling tersakiti dan kehilangan karena lo cuman orang baru. Kehadiran lo bahkan cuman bikin dia sengsara! Lo—"
"Han, udah..." Aksa menarik Hana untuk mundur. Perdebatan ini semakin memanas, dan tidak pantas saja rasanya ini berlanjut di depan ruang ICU.
Hana menyapu rambutnya ke belakang lalu mengelap wajahnya dengan tangan secara kasar. "Aidan, gue tau berat rasanya. Kalo bisa memilih pun, gue gak mau kehilangan Laura. Tapi ini mungkin jalan satu-satunya, dia memilih untuk menyerah," ujar Hana yang masih sesenggukan. "Tolong, ikhlasin dia. Ikhlasin Laura untuk pergi..."
Realistis saja. Dengan keadaan Laura yang semakin buruk, pasti sakit sekali rasanya harus bergantung dengan selang-selang yang menancap di tubuhnya. Berada di ambang hidup dan mati. Ini benar-benar mengingatkan Hana pada kejadian beberapa tahun silam yang membuat Laura sempat koma, bedanya ini karena jelmaan iblis yang menyamar jadi Papanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AIDAN [COMPLETED]
Teen Fiction"Aidan itu misterius, tapi aku suka." Berawal dari sekedar 'kagum'. Laura memberanikan diri untuk menyatakan perasaanya pada sang pujaan hati. Aidan Hamizan. Meski yang di dapat adalah penolakan, Laura tetap tidak goyah. Baginya, Aidan itu seperti...