Membicarakan sejarah memang tak akan ada habisnya. Selalu ada celah perbedaan yang bisa diperdebatkan. Oleh karena itu, aku memutuskan beranjak dari tempat tidurku. Keluar dari kamar, aku menemukan sosok berjasa lainnya tengah duduk santai di kursi dekat jendela kaca yang separuh terbuka. Beliau ini memang tidak ikut dalam perang, bukan pula seorang veteran, melainkan sosok yang berjasa dalam hidupku. Setelah ibuku tentunya. Benar, beliau adalah ayahku.
Membaca koran di waktu senggang sambil menikmati secangkir kopi adalah rutinitas ayahku. Apalagi saat pagi hari di akhir pekan ini. Beliau tampak tenang membaca tulisan semut di koran itu meskipun harus dibantu dengan kacamata yang semakin lama semakin tebal. Rasanya seperti kembali pada masa ketika teknologi belum semenjamur ini. Tidak ada gadget. Hanya ada koran, secangkir kopi, dan desiran angin yang menyapa pepohonan rimbun di halaman rumah.
Meskipun terlihat tidak peduli dengan keadaan sekitar, aku tahu benar tingkat kepekaan ayah cukup tinggi. Mungkin benar, kalau perasaan perempuan lebih peka. Namun, bagiku laki-laki juga tak kalah peka. Contohnya ayahku.
Ah, terlalu banyak rasa yang dihadirkan ayah di dalam rumah minimalis ini. Dari banyaknya bukti besaran rasa ayah pada keluarganya, akan ku ceritakan beberapa yang berkesan, menurutku tentu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jasa, Rasa, dan Asa
PoetryRangkaian diksi yang tertulis dalam tiap bait puisi ini kupersembahkan kepada: - Sosok berjasa sepanjang masa, - Sosok berharga sepanjang usia, dan - Sosok pembangkit asa dalam jiwa. © Event Nubar Puisi bulan November 2020