Chapter 4

1 0 0
                                    

Kegelisahan Martin nampaknya kian bertambah. Beberapa kali ia melihat kesana-sini. Menyapukan pandangan ke seluruh penjuru ruangan bernuansa retro tersebut. Ia sendiri tidak yakin betul apakah Sandra bakal memenuhi keinginannya, atau malah menolaknya mentah-mentah.

Ia bukannya tidak menyadari kesalahan enam bulan silam. Martin sadar betul dia mengambil langkah yang salah kala itu. Dan tentu saja hal tersebut menjadi alasan mengapa respon Sandra sebegitu dinginnya. Kondisi yang kacau, juga perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal itu.

Martin menghilang bagai ditelan bumi.

Ia mengasing. Menjauh. Menghujamkan bercak luka yang sulit dihapus. Ia bukannya lupa. Justru kesadarannya kini memuncak. Martin merasa ini adalah kesempatan tepat baginya untuk meminta maaf. Setidaknya itu yang ada di kepala Martin saat ini. Namun wanita itu belum juga menjawab penawaran yang dilempar Martin. Waktunya juga tidak banyak, dan ia malah sedang menunggu seseorang yang tidak jelas kedatangannya.

Di depannya tergeletak tiga gelas bekas minumannya yang kini tidak lagi tersisa. Namun masih belum terlihat tanda-tanda kemunculan Sandra. Martin berniat bangun dan pergi dari sana, namun seperti ada sesuatu yang mencegahnya berlalu. Ia memejamkan matanya paksa, mengetuk-ngetukkan sepatu boot hitamnya secara cepat. Waitress yang beberapa kali mengantarkan minuman Martin sedari tadi melihatnya heran, menyadari pria beraroma cokelat itu sedang resah. Benar-benar terlihat dari apa yang ditampakkan oleh ekspresi wajahnya. Keringat dingin beberapa kali mengalir membasahi tubuh Martin.

Lonceng di atas pintu kaca berbunyi. Seorang gadis dengan pakaian semi formal muncul dari balik pintu. Martin terperanjat. Akhirnya, sosok itu datang. Sandra memutar bola matanya tanpa menggerakkan kepala, menelusuri, dimana keberadaan Martin. Seorang waitress mengucapkan selamat datang yang dibalas senyuman manis Sandra.

Martin berdiri, memberi tahu posisinya. Senyum simpulnya mengembang seolah ikut mengucapkan selamat datang kepada Sandra. Wajah Sandra datar. Tidak terlihat tertarik, namun tidak juga terlihat terpaksa. Ia melangkah dengan tenang ke meja kayu persegi itu. Disana hanya terdapat sepasang kursi, yang sepertinya memang didesain hanya untuk dua orang saja.
Martin mempersilahkan Sandra duduk. Ia hanya menatap Sandra. Mulutnya masih terkunci. Tidak tahu darimana ia harus memulai pembicaraan.

"Jadi, kamu dateng jauh-jauh kesini cuma buat diem aja?" Sandra akhirnya memulai percakapan. Martin terlihat salah tingkah. "Em... Sandra, buat yang waktu itu.. aku gak bermaksud..."

"Udahlah, gakpapa" Sandra memotong. "Aku udah maafin kamu." Martin kembali diam. Menatap kearah sepatunya. Suasana menjadi hening. Sandra menatap lengan Martin. Jam metalik pemberiannya masih terpasang disana. Ia tertawa kecil, mengingat bagaimana menyenangkannya waktu-waktu bersamanya dahulu.

Tiba-tiba ponsel Sandra berdering. Karla menelfonnya, menanyakan dimana Sandra berada.

"Kebetulan aku lagi ada di deket situ. Aku mampir ya. Aku traktir makan siang, oke?" Terdengar suara sopran Karla dari balik ponsel. Sandra membelalakkan matanya. Mencoba menahannya agar tidak kesana untuk saat ini. Tapi Karla buru-buru mematikan panggilan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang