tujuh

1.7K 263 7
                                    




Adakalanya kita harus belajar memasrahkan kehendak bukan memaksakan kehendak.

***

Wajah Abi terlihat tegang karena sudah tiga puluh menit berlalu ia belum melihat sosok sang istri. Penyesalan selalu datang di akhir, kira-kira itulah yang ada di benak pria bertubuh jangkung itu. Sementara Arumi yang tersesat tak bisa berbuat apa-apa selain mencoba mencari tempat parkir berharap menemukan mobil Abizar. Ia merasa lelah berputar-putar sembari mencoba mengingat tempat awal dia pergi tadi.

Ada tiga pria dengan wajah mencurigakan mendekati Arumi. Dari gelagat mereka sepertinya ingin melakukan pelecehan. Tanpa disadari Arumi, dirinya telah dikelilingi oleh pria-pria tersebut. Salah satu dari mereka yang berambut pirang mencoba menyentuh cadar perempuan itu, membuat Arumi terperanjat. Perlahan ia mundur membuat jarak, tapi ketiga pria itu semakin mendekat.

"Mau ngapain kalian!" Seorang pria bertato dengan rokok terselip di bibir menarik kerah baju pria berambut pirang.

Para pria itu terkejut, mereka hanya bisa menggeleng kemudian mengangkat tangan untuk minta maaf.

"Jangan sekali-kali mengganggu perempuan! Dasar, Banci!" Ia melepas kerah pria itu lalu mendorong kuat sehingga hampir terpelanting.

Arumi terpaku menyaksikan itu. Dadanya semakin berdegup kencang. Ingin pergi dari tempat itu, tapi tak tahu hendak ke mana.

Setelah tiga pengganggu itu lari, pria bertato yang menolongnya menatap ke arah Arumi.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya baik-baik.

"Ke ... eum, terima kasih sudah menyelamatkan aku," tutur Arumi ragu.

Pria berambut cepak itu menyungging senyum.

"Aku Evan!" Ia mengulurkan tangan mengajak bersalaman, tapi sejenak kemudian kembali ia tarik.

"Maaf, aku lupa. Kita bukan mahram!" celetuknya mengusap tengkuk dengan mata nakal mencuri pandang pada Arumi.

Sejak tadi sebenarnya ia melihat kebingungan Arumi, hingga berinisiatif untuk mendekat, tapi tiga orang tadi lebih dulu dan hampir mencelakai perempuan itu.

"Sebenarnya kamu mau ke mana? Maaf sejak tadi aku perhatiiin kamu berputar-putar. Kamu mau ke mana? Mungkin aku bisa bantu," tuturnya sopan.

Arumi menggeleng cepat. Ia terlihat membuat jarak karena sedikit terbatuk oleh asap rokok Evan. Menyadari itu, segera Evan membuang separuh rokok yang sudah diisapnya.

"Maaf ...," ucapnya tersenyum.

"A-ku ...."

"Evan! Kamu kenapa?" Seorang perempuan paruh baya dengan kerudung di kepala mendekat. Dengan tatapan menyelidik ia kembali bertanya kepada pria yang punya banyak tato itu.

"Mama? Udah selesai belanjanya?"

"Dia siapa?" tanya perempuan yang dipanggil mama.

"Kamu! Kenalin ini mamaku. Ma, aku nggak tahu dia siapa, tapi sepertinya butuh pertolongan." Mata tajam Evan menatap Arumi yang menunduk.

"Kamu mau ke mana, Nak? Maaf namanya siapa?" Perempuan paruh baya itu bertanya ramah.

"Arumi, Bu. Saya Arumi."

"Kamu mau ke mana?"

Arumi menceritakan awal mula hingga dirinya berada di tempat itu.

"Siapa nama suamimu?" Evan bertanya dengan nada geram.

"Abizar."

"Oke, ikut aku! Mama tunggu di mobil ya. Nanti Evan balik lagi," ujarnya menatap sang mama. Perempuan itu mengangguk tersenyum.

(bukan) Istri Kedua. Hanya Sampai Bab 8 Mau Baca Lengkap Ada Di KBM App.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang