4 : Tantangan dari mantan

5 0 0
                                    

Suasana senja menjadi saksi kecanggungan dua insan dengan taman yang menjadi awal pertemuan mereka kembali. Atmosfer sekeliling, tak luput mewakili kebisuan sang senja saat ini. Sudah hampir setengah jam, mereka duduk di kursi dengan air mancur yang memancarkan air ke seluruh penjuru. Namun, seperti tak ada suara yang terlontar dalam bibir mereka berdua. Yang terdengar hanyalah, beberapa bisikkan sekitar mereka yang sudah lama diam-diam sembunyi di balik dinding kaca taman.

Arumi yang melihat kebungkaman lelaki di sampingnya hanya bisa mengeram kesal. Hingga,
"Untuk apa kemari?" tegas Arumi yang kini tak tahan akan kebungkaman dari lelaki di sebelahnya itu.

"Apa tidak ada sapaan untukku?" Arumi terdiam membisu kembali akan lontaran kata dari bibir lelaki itu. Afkar, lelaki di samping Arumi hanya bisa menghela napas perlahan. Ketika sosok wanita di sampingnya tak menyapanya dengan hangat. Layaknya sang senja yang kini bersama mereka.

"Apa kabarmu, Mita?" sapa Afkar mencoba memulai menyapa wanita di sampingnya, dengan senyum hangat yang masih seperti dulu.

Jantung wanita itu seakan terhenti mendadak, saat seulas senyuman manis itu hadir menyapanya. Dia tak kuasa untuk tidak membalas senyuman itu, tapi dia gigit bibirnya ke dalam sekuat tenaga. Agar tak menghasilkan senyum, dengan setelahnya berucap
"Baik"

Lelaki itu mengangguk, dan suasana kembali hening. Afkar mengalihkan pelihatannya ke air mancur yang menjadi pelengkap taman kecil butik milik Arumi. Sambil berkata dengan nada suara khasnya,
"Aku datang kemari untuk melamarmu!" ucapnya, dan berhasil mengangkat kepala Arumi yang sejak melihat senyuman itu tertunduk.

Dia dengan mata tajam, serta tangan yang mengepal memandang Afkar yang masih setia menatap keindahan air mancur.
"Maksud anda apa?" sulut Arumi berapi-api pada sosok lelaki yang duduk di sampingnya.

Afkar melirik Arumi sekilas, sebelum kembali menikmati air mancur di sana. Dan berbalik bertanya,
"Apa tak cukup jelas ucapanku tadi, Mita?" rahang Arumi mengeras akan pertanyaan bodoh lelaki yang pernah mengisi hatinya dulu. Dia bukanlah tuli, bukan pula tak paham maksud akan ucapan sang lelaki itu. Hingga, suara tegas Arumi membalas ucapan Afkar
"Cukup jelas!"

"Lalu?"tanya Afkar sekali lagi padanya.

Arumi mengeram kesal, saat berhadapan dengan sosok lelaki di sampingnya ini. Dengan tarikkan napas, lalu menghembuskan perlahan. Dia menegaskan padanya,
"Maaf, tuan Afkar Shawqi Qaddafi. Mungkin anda yang kurang jelas menangkap pertanyaan saya di awal—" Afkar mengalihkan pandangnya, dan kini mata mereka saling bertemu.

Di tatap oleh sang mantan gebetan secara dalam, membuat Arumi menghentikan sejenak ucapannya. Dia kini bertarung dengan hati juga akal sehatnya, matanya dia tutup sejenak. Sebelum kembali melanjutkan ucapannya,
"—saya ulangi, untuk apa Anda kemari? Di saat saya sudah bahagia!" tukasnya berusaha tegas dengan perkataannya, tapi badannya tak berbohong. Jika tak kuat saat berbicara bahwa dia suda bahagia.

Afkar tertegun sesaat, dia alihkan matanya untuk memandang mata Arumi. Dan kembali menikmati tenangnya air, sebelum sebuah kata kembali terucap mulutnya.
"Aku minta maaf, Mita. Karena menolakmu dahulu" ucapnya dengan menyesal, Arumi palingkan pandangannya ke arah lain, mendengar omongan kosong dari Afkar.

"Aku tau rasanya terlambat untuk mengatakan semuanya. Akan tetapi ... Bukankah lebih baik terlambat? Daripada mengubur harapan?" hiburnya pada dirinya sendiri, sambil menatap kembali air mancur. Arumi menoleh sekilas wajah Afkar, dan mendengus pada ucapannya.

"Sejujurnya, aku tak ingin membahas masa lalu. Terlebih itu hanya menyakiti orang yang ku cinta"badan Arumi mematung, dia hanya bisa menatap bingung ucapan Afkar. Apa maksudnya? Siapa yang dia maksud? Lelaki itu terus bercerita, tanpa matanya melirik atau pun wajahnya menoleh pada Arumi.

"Dulu ada seorang adik kelasku, dia menyatakan perasannya padaku sama seperti ku. Sore hari ... Di taman, dengan wajah lucu dia menemuiku. Awalnya, aku mengira dia ingin membahas kegiatan kampus yang tengah panas di bicarakan saat itu. Tapi, saat kulihat raut wajahnya. Aku mulai menebak bukan itu yang dia ingin bahas."Arumi memalingkan kembali pandangannya dengan kepala tertunduk, dan kedua tangan  yang meremas ujung roknya. Afkar masih menatap tenang air mancur, dan melanjutkan ceritanya.

"Sampai suara lirihnya membuat ku mematung seketika. Aku sangat munafik, kalo bilang tidak menyukainya. Tapi sayangnya, aku sungguh munafik. Aku meninggalkannya sendiri di taman dengan air mata yang masih ku ingat jelas" ucap Afkar kembali mengingatkan Arumi akan betapa bodoh dirinya saat itu.

Mereka masih terdiam dengan Arumi yang mengusap air mata yang semakin mengalir. Otaknya seakan berkecamuk, antara untuk apa dia mengulang kembali masa lalu itu. Dan apa gunanya dia menceritakannya kembali. Afkar hanya bisa memandang air mancur di depannya, tak kuat rasanya dia hanya sekedar mengusap air mata wanita yang di cintainya. Kalo ada yang melihat, dan menyebutnya pengecut juga lelaki tak berperasaan. Mungkin Afkar hanya bisa pasrah, dengan banyak orang yang tengah berbisik itu. Arumi berdiri dari kursinya, hatinya semakin tersiksa jika berhadapan dengan masa lalunya untuk saat ini.

Afkar melihat itu, hanya menatap miris dengan hati yang di tikam oleh batu besar. Hingga suaranya kembali, menahan Arumi untuk pergi.
"Apa kau benar bahagia selama ini, Mita?" Arumi hanya bisa memejamkan mata sejenak. Sambil berucap,
"Iya, aku bahagia"

"Kalo benar, kau bahagia? Lalu mengapa kau sendiri? Ketika seluruh temanmu sudah memiliki kekasih, Mita?"tanyanya seakan membuat Arumi tak bisa mengelak akan kenyataan.
"Itu bukan urusan anda!"

Afkar terkekeh dengan balasan wanita di depannya yang menurutnya begitu munafik seperti dirinya dulu.
"Tentu, itu urusanku. Karena kau takdirku"ucap Afkar. Arumi menghentikan langkah kakinya,
"Kau bukan takdirku, tuan!"tegas Arumi dan kembali melanjutkan langkahnya yang kini seakan berat.

Afkar melangkah mendahului Arumi, dia menghalangi wanita itu keluar. Dengan ucapannya kembali tetlontar,
"Baik, kalo kau tak mengakui itu. Buktikan siapa takdirmu, Mita?"tantang Afkar padanya.
"Maksud anda?"tanya Arumi yang semakin tak paham akan jalan otak dari lelaki bernama Afkar tersebut.
"Kau cukup pintar, tanpa ku jelaskan"ucapnya dengan wajah yang dia miringkan kepala.

Otak Arumi seolah ingin meledak oleh lelaki di depannya, layaknya seperti dulu. Lelaki di depannya itu selalu memainkan teka-teki yang membuat dia harus mencari ke setiap penjuru jawabannya. Hingga, suaranya memanggil dia untuk sadar dari mengutuk lelaki itu.
"Tepat reunian, bulan depan. Bawa takdirmu ke hadapanku, maka aku akan menyerah. Dan mengakui jika kau hanya fatamorganaku saja, tapi jika kau tak membawanya. Persiapkan dirimu, Mita"ucapnya begitu lancar, dan meninggalkan Arumi bingung akan ucapannya
"Persiapan apa?"tanyanya lirih. Namun, masih terdengar jelas oleh telinga Afkar.
"Kau akan tau nanti" ucapnya, lalu menghilang dari pandangan Arumi.

Tbc
Assalamualaikum, balik lagi nih...
Semoga kalian suka, ya... Sama cerita dari aku...

Boleh vote🌟, boleh kasih komen💬. Kalo enggak juga boleh, tapi kalo bisa... Kenapa enggak?😁

Sekian dariku, jangan rindu loh... Nanti kiloan nambah, kaya aku😭 #malahcurhat😅

Oke, aku pamit beneran ini ya...
Waassalamualaikum👋👋

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mantanku, pelabuhan terakhirkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang