Rafael Mulai Gila

493 44 3
                                    

Damian menyikut Samudra, lantas laki-laki itu melakukan hal yang sama kepada Azka, barulah teman-temannya sadar kalau salah satu dari mereka tengah terjangkit penyakit gila. Senyum-senyum sendiri sejak tadi.

Azka menggeleng pelan, iba atas apa yang terjadi---Rafael masih muda---sedang Samudra malah ikut-ikutan senyum. Baginya, Rafael sedikit manusiawi akhir-akhir ini. Mana pernah bibir melengkung membentuk sabit? Adanya datar terus seperti papan.

Sementara Damian antara iba juga geli. Begitu kalau orang jatuh cinta? Meski terlihat aneh, tetapi lucu juga.

Rafael sendiri tengah membayangkan kejadian tadi pagi di mana sang istri mengomel karena seekor kelinci. Sungguh tak terduga kalau Ashila bisa secerewet itu, bahkan mamanya ikut dibuat takjub oleh perubahan sikapnya.

Di tempat lain, Ashila mengaduh kesakitan di perut karena hari ini hari pertama dia mendapatkan datang bulan. Moodnya naik-turun gara-gara Rafael dan Ayasha semakin kompak menjahilinya. Padahal dulu dia berpikir jika kedua orang itu tak akan pernah bersatu untuk melawannya. Sang suami dingin dan terlihat acuh, sedang putrinya hanyalah seorang anak yang polos.

Siapa sangka bukan?

"Aku masih sebal dengan kemarin."

Gerakan Ashila berhenti padahal tangannya sudah berada di kenop pintu toilet, di luar ada Vanya dan Inge.

"Yang mana?" Inge merapikan penampilan.

"Itu tuh, saat Mona membela Shila. Kan, bener, dia aneh?"

"Sudahlah, berhenti bahas dia." Inge berusaha tidak terpancing.

"Kamu pikir aja deh, wanita dengan status putri tidak jelas siapa bapaknya, masih diterima di kantor ini? Belum lagi pembelaan yang dilakukan oleh Pak Azka, aku curiga mereka benar-benar punya affair."

"Vanya, sudahlah! Masing-masing kita memiliki dosa, nggak usah ngurusin dosa orang lain. Lagian itu nggak terbukti."

"Nggak terbukti apa? Banyak kok yang lihat mereka sering bersama?" Vanya masih ngotot.

"Pak Azka emang akrab sama pegawai, lagian jika diitung-itung, malah harusnya kamu curiga sama sekretarisnya." Inge tertawa.

"Kok sekretarisnya?"

"Kamu nggak curiga mereka punya affair? Sekretarisnya cantik, seksi, belum lagi point-point penunjang lain yang aduhai." Inge mencoba memanas-manasi, dia tahu Vanya menyukai Azka Bagaskara---itu kenapa sengit ke Ashila.

Vanya tampak berpikir, "itu nggak mungkin."

"Nggak mungkin apa, Pak Azka sama sekretarisnya? Wah, mungkin banget. Mereka sering keluar bareng, makan siang bareng, trus lagi, semua kebutuhan diurus sama dia. Bukan nggak mungkin lagi mereka cinlok."

"Tidak boleh!" Vanya menjerit kesal, sedang Inge terkikik geli.

"Udahlah, ayo balik! Aku dah selesai." Inge keluar lebih dulu, Vanya menyusul dengan langkah gontai. Kepikiran adanya hubungan antara Azka dan sekretarisnya.

Sementara itu, Ashila yang sejak tadi mendengar percakapan keduanya menjadi sedih. Ternyata di belakang, teman-temannya sering membicarakan dirinya.

Jika itu orang lain, dia akan menutup telinga dan pura-pura tidak mendengar apa-apa. Namun, ini teman-temannya? Rekan satu timnya.

"Aku tahu kamu di dalam. Keluarlah!" Shofia memanggil dari luar.

Terlihat gadis itu tersenyum. Ashila pikir cuma dia yang menguping.

"Tidak perlu dipikirkan! Mereka yang membicarakanmu di belakang itu hanya iri." Shofia mematut dirinya di cermin besar, tersenyum.

"Kenapa kamu biasa saja?" Ashila bertanya ingin tahu, bukankah dia juga dibicarakan tadi?

Not Cinderella (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang