1.0

40 10 4
                                    

BAGIAN

1.0

▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔

Diktator

▁▁▁▁▁▁▁▁▁▁▁▁▁▁▁

⋆ u t o p i a l i n g s ⋆





















"Jangan biarkan bocah itu kabur!"

Komando dari pria tua yang notabene seorang pimpinan, berhasil membuat pasukan menyebar seperti semut-semut yang baru saja keluar dari sarang. Rahangmu mengeras, menghadirkan suara gemeretak tak enak yang berasal dari gigimu.

Hujan peluru, tanpa ampun, ditujukan kepadamu yang tengah berlari serta menerjang siapa saja yang menghalangi. Mau beribu kali peluru menembus dagingmu sampai mandi darah pun, mau beribu kali peluru memberi rasa sakit luar biasa kepadamu pun, mau beribu kali lubang luka yang disebabkan peluru itu regenerasi pun, kamu tetap tak goyah.

"Bocah jalang, coba lari kalau kau bisa." Kedua tangan dan kakimu dicengkeram kuat yang tentunya aku tak tahu sekuat apa. Yang jelas, cengkeraman itu mampu membuatmu meraung keras hingga menggema ke seluruh ruangan.

Sudah terlampau lama sejak terakhir kali kebebasanmu direnggut paksa. Dan mungkin ... kamu sendiri juga tidak bisa menghitung berapa kali pria tua itu menghancurkanmu baik secara fisik maupun mental. Harapanmu untuk melarikan diri dari neraka dunia ini juga masih bersembunyi di balik kejamnya kenyataan. Ironi.

Tangan besar dari pria tua yang merupakan pelopor dari seluruh kejadian yang berlangsung selama beberapa menit tadi, menjenggut bengis rambut coklat sebahumu hingga rontok beberapa helai.

"Kalau aku bilang jangan pergi, harusnya kau dengar, bodoh. Apa telingamu itu sudah tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya lagi?"

Dapat aku tangkap dengan jelas gurat kegamangan luar biasa dari kanvas wajahmu. Bahumu yang naik turun dengan cepat menandakan kalau kamu sedang berusaha keras memompa oksigen agar masuk ke paru-paru. Peluh dingin mulai membasahi kain, menimbulkan bekas besar yang terlihat jelas di kemeja putihmu.

Kamu menelan ludah susah payah, mencoba menghalau tenggorokanmu yang tersekat. Pandangmu yang nanar, terus terkunci pada sosok iblis berkedok manusia di depanmu.

"Cepat ambilkan besi itu!" Pupilmu melebar seketika, bereaksi tatkala mendapati sebuah besi runcing seukuran pensil bertengger manis di tangan kanan pria tua itu.

Dia menarik sudut bibir menyeringai, membiarkan sukmamu semakin terkikis lantaran digerogoti lubang hitam bernama trauma. Tidak perlu menunggu lama lagi, dapat terdengar suara launganmu yang memenuhi seluruh ruangan.

Sekali ... dua kali ... tiga kali ... begitu seterusnya sampai aku berharap ada penyumbat telinga tak kasatmata agar aku tidak bisa mendengar lagi suaramu. Sangat mengganggu dan menyakitkan pada saat yang sama.

Sial. Menjalani kehidupan seperti ini setiap hari belum juga membuatku bisa beradaptasi. Sepertinya, orang normal mana pun juga akan merasakan hal yang sama sepertiku. Ah, bagaimana cara melarikan diri dari hidup ini? Aku mulai muak menjalani kehidupan yang entah apa tujuannya.

"Adelio, bawa dia ke ruangannya." Aku sedikit tergemap ketika pria tua itu memberikan instruksi kepadaku. Dia meletakkan besi yang ujungnya telah terbaluri cairan kental berwarna merah di lantai. Ya, tanpa bertanya pun, sudah jelas cairan kental itu berasal dari mana.

Aku bersumpah, aku sangat membenci diriku yang tidak bisa melawan ketidakadilan. Aku juga membenci diriku yang hanya bisa menjawab "Siap laksanakan." saat pria tua itu memerintahku. Maaf, mungkin hanya itu yang bisa kukatakan kepadamu walau sampai sekarang pun kata itu belum juga bisa aku sampaikan secara langsung.

EpilogueWhere stories live. Discover now